JAKARTA, KOMPAS.TV - Juru Kampanye dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan pemerintah sejatinya sudah mengetahui dan bisa memprediksi jika pada musim kemarau, tren meningkatnya polusi udara akan terjadi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan sudah berbicara sejak akhir 2022 terkait adanya kemarau panjang pada 2023.
Sayangnya, tak ada peringatan dini terkait tingginya polusi udara yang dikampanyekan oleh pemerintah.
Baca Juga: Kualitas Udara di Jakarta Lagi-Lagi Jadi yang Terburuk, Heru Budi Singgung Polusi dari Kendaraan
“Artinya KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan dinas lingkungan hidup sudah tahu, ketika kemarau panjang, PM 2,5 tinggi, harusnya ada peringatan kepada warga,” kata Bondan kepada Kompas.id, baru-baru ini.
Nihilnya peringatan dini ini menunjukkan bahwa polusi udara belum dilihat sebagai masalah yang darurat.
Soal uji emisi guna menanggulangi masalah polusi udara, Bondan berpendapat bahwa hal itu belum berbasis data empiris dan saintifik. Uji emisi massal seharusnya tak hanya menyasar kendaraan bermotor, melainkan juga dilakukan pada sektor industri.
Cerobong asap industri di sekitar Jakarta, seperti di Jawa Barat dan Banten, juga menyumbang tingginya polusi udara.
Baca Juga: Pagi Ini Minggu 13 Agustus 2023, Kualitas Udara di Jakarta Terburuk Sedunia, AQI Capai 169
Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) - Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Agus Dwi Susanto memaparkan pentingnya sistem peringatan dini bahaya polusi udara.
Sistem peringatan dini polusi udara ini perlu dibangun digiatkan untuk memperkuat pengendalian polusi udara di masyarakat dan meningkatkan kesadaran publik terkait bahaya polusi udara.
“Informasi mengenai kualitas udara yang tidak sehat perlu diberikan secara berkala kepada masyarakat. Itu beserta dengan langkah antisipasi yang harus dilakukan,” kata Agus, Selasa (8/8).
“Dengan begitu, kesadaran warga tentang polusi udara bisa lebih baik. Polusi udara menjadi masalah serius yang harus diantisipasi,” sambungnya.
Pemerintah diharapkan memperbanyak titik-titik pemantauan atau alat ukur mutu udara. Segala informasi dari hasil pemantau ini harus bisa diakses oleh masyarakat dengan mudah.
Baca Juga: KLHK: Polusi Udara di Jakarta Diperparah Angin Muson Timur yang Bawa Udara Kering dari Australia
Indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta menjadi yang terburuk di dunia pada Minggu (13/8) per pukul 09.11 WIB. Angka AQI di Jakarta mencapai 169 yang masuk kategori Tidak Sehat.
Adapun, konsentrasi Particulate Matter (PM 2.5) di Jakarta mencapai 90,4 mikrogram per meter kubik atau 18,1 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Material yang terkandung dalam PM 2.5 ini disebut menjadi penyebab berbagai gangguan saluran pernapasan.
Berdasarkan tingkat polusinya, Jakarta diperkirakan dalam kondisi tidak sehat selama beberapa hari ke depan, setidaknya hingga Selasa (15/8).
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.