JAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, efek pencemaran udara semakin meningkat di Jakarta, karena disebabkan angin muson timur yang membawa masa udara kering dari Benua Australia menuju Benua Asia.
"Kalau dari segi siklus memang bulan Juni, Juli, dan Agustus itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Namun angin muson timur hanyalah faktor pengganda dari pencemaran udara. Penyebab sebenarnya adalah dari transportasi dan industri.
Sigit mengutip laporan dari Bloomberg Philanthopics dan Vital Strategies tentang emisi pencemaran udara di Jakarta pada 2020. Hasil inventarisasi emisi diperoleh bahwa total emisi pencemaran sulfur dioksida mencapai 4.257 ton per tahun.
Sumber penghasil emisi terbesar adalah sektor industri manufaktur dengan angka 2.637 ton per tahun atau setara 61,9 persen.
Baca Juga: Dinkes DKI: 100.000 Warga Jakarta Kena ISPA Setiap Bulan Akibat Peralihan Cuaca
Menurut Sigit, industri manufaktur banyak menggunakan batu bara. Sehingga pelepasan sulfur dioksida dari industri manufaktur menjadi tinggi.
Industri penghasil zat pencemar sulfur dioksida kedua terbesar adalah industri energi, dengan angka mencapai 1.071 ton per tahun atau setara 25,17 persen.
"Berdasarkan hasil inventarisasi emisi sulfur dioksida di sektor industri energi berasal dari konsumsi bahan bakar minyak dengan rasio emisi bahan bakar minyak dan gas sebesar 27,95 persen," ujar Sigit seperti dikutip dari Antara.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menuturkan, kualitas udara memang menurun pada saat musim kemarau.
Hal serupa juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Ia mengatakan, kualitas udara di musim kemarau cenderung lebih baik di malam dan pagi hari.
Ia juga menerangkan soal lapisan inversi yang ada di udara Jakarta. Ibu kota adalah wilayah urban dan ditambah musim kemarau. Kondisi itu menimbulkan fenomena lapisan inversi.
Baca Juga: Solusi Heru Budi soal Polusi Udara Jakarta: Ganti Kendaraan Listrik dan Tanam Pohon
"Lapisan inversi menahan pengangkatan udara ke atas (konveksi) sehingga dapat mengakibatkan terkumpulnya energi di dekat permukaan dan dilepaskan dalam bentuk thunderstorm yang kuat. Lapisan inversi juga dapat menyebabkan cuaca yang berkabut dan menahan polutan berada di dekat permukaan," jelas Ardhasena.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.