YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Desakan agar pemerintah serius dalam menangani serangan virus African Swine Fever (ASF), disuarakan oleh para peternak babi dari seluruh Indonesia, saat bertemu di Yogyakarta, Rabu (28/06/2023). Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia, Sauland Sinaga, menyebut populasi ternak babi di Indonesia berkurang hingga 60 persen sejak virus ASF masuk ke Tanah Air tahun 2019 lalu.
Melansir laman menlhk.go.id, African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus ASF (ASFV) dari famili Asfarviridae.
Penyakit ini menimbulkan berbagai pendarahan organ internal pada babi domestik maupun babi hutan. ASF sangat menular dengan angka kematian yang sangat tinggi. Belum ada vaksin atau pengobatan efektif untuk penyakit ini.
Baca Juga: Tidak Miliki Dokumen Karantina 100 Kg Daging Babi Selundupan Dimusnahkan
Menurut Sauland, saat ini penyebaran virus ASF telah terjadi hampir di seluruh Indonesia, kecuali di Papua yang jaraknya relatif jauh dari pulau-pulau lain yang lebih dulu terpapar virus ASF.
Akibat serangan virus ASF, banyak peternak babi yang kini gulung tikar, bahkan beralih profesi demi bertahan hidup.
Salah satu poin desakan para peternak babi ditegaskan Sauland, bahwa pemerintah saat ini harus mempercepat pengadaan vaksin ASF. Ia berharap, kelak vaksin yang masuk ke Indonesia legal, dan bisa dipercaya oleh para peternak babi.
Pasalnya, saat ini banyak beredar vaksin ilegal, namun tidak banyak membantu mengurangi serangan virus ASF.
"Kalau vaksin ilegal bahaya, karena siapa yang bisa memberikan jaminan pada peternak jika babi akan sehat setelah diberi vaksin. Nah kalau vaksin legal, maka akan diawasi pemerintah, serta ada jaminan dari pihak produsen maupun distributor vaksin," tegas Sauland.
Baca Juga: Lebih dari 6 Ribu Babi Mati Mendadak di Sulawesi Tengah, Ada Apa?
Upaya memasukkan vaksin ASF secara legal ke Indonesia sejatinya telah diupayakan. Menurut Dirut Putra Perkasa Genetika, Renaldy Anggada, pihaknya telah melakukan proses perizinan import vaksin ASF dari Vietnam, namun masih terkendala sejumlah persyaratan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara untuk Kementerian Pertanian, proses perizinan telah selesai dilakukan.
"Karena vaksin yang hendak diimport merupakan produk Genetically Modified Organism (GMO) atau produk rekayasa genetika, maka wajib melewati pintu perizinan di dua Kementerian, yaitu Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," tandas Renaldy.
Penulis: Michael Aryawan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.