JAKARTA, KOMPAS.TV - Tak jauh dari tempat wisata Darajat Pass, desa Karyamekar, Kacematan Pasirwangi, Garut, Jawa Barat, terdapat hamparan kebun palawija sejauh mata memandang yang ditanami cabe, kentang, kubis dan tomat. Di tempat ini para petani yang terlihat masih muda sedang menggarap kebun mereka.
Enas (33 tahun), misalnya. Petani yang punya lahan 100 tumbak ini (1 hektar sama dengan 700 tumbak) sudah turun-temurun menggarap lahan warisan orang tuanya. "Warga sini semuanya bertani atau ngojek," kata ayah dua anak ini saat berbincang dengan KOMPAS TV, Minggu (14/5/2023) di depan rumahnya, kampung Kebon Tilu yang berada di tengah lahan pertanian.
"Ojek leuweung" alias ojek hutan adalah profesi yang dijalani sebagian anak muda di sana selain bertani, untuk mengangkut hasil pertanian dari lahan ke tepi jalan.
Baca Juga: Dinas pertanian Sulut Gelar Sosialisasi Upland Pengembangan Komoditi Kentang
Dengan lahan yang dia miliki, Enas menanam kubis, kentang, cabe atau tomat. Meski hasilnya terkadang tidak sesuai dengan pengeluaran tenaga dan harga pupuk dan obat, Enas tetap tekun merawat lahannya. "Harga cabe sekarang 14 ribu darti petani. Padahal pupuk dan obat bisa sampai 250 ribu," katanya.
Dengang harga yang tidak bersahabat itu, Enas tidak terpikir untuk beralih profesi. "Dari kecil sudah bertani. Orang tua saya juga petani," ujarnya.
Bahkan, warga kampung Kebon Tilu, tempat Enas bermukim bersama 14 KK (kepala keluarga lainnya) juga menekuni pertanian sejak dulu. "Kami keturunan petani," ujarnya yang bersiap di depan motor tuanya akan membawa obat tanaman untuk menggarap lahannya.
Hal yang sama juga disampaikan Asep, yang usianya tak jauh beda dengan Enas. Asep yang sehari-hari berprofesi sebagai guru madrasah swasta ini, saat hari libur akan membantu lahan orang tuanya bertani. Menurut Asep sejak kecil dia sudah diajarkan bertani, seperti ayahnya (bernama Anda) yang juga sejak kecil sudah bergelut di lahan pertanian.
"Saya lulusan D2 program guru agama Islam," katanya. Meski pernah mengecap program D2, panggilan hati untuk meneruskan lahan pertanian milik leluhurnya tidak pernah pudar. Dengan topi penghalang sinar matahari dan cangkul di tangan, Asep cekatan mencangkul tanah kering yang akan ditanami cabe. "Ini saya bersihkan rumputnya. Cuaca sedang terik, bagus untuk tanaman cabe," ujarnya.
Cabe yang menjadi kebutuhan warga itu, kini harganya sedang jatuh. "Waktu puasa sampai Lebaran kemarin bagus, bisa sampai 50 ribu sekilo di tangan petani," ujar Anda, ayah Asep yang juga sedang menggarap lahan pertanian. Bahkan harga kubis sejak lama tak pernah beranjak, hanya seribu perkilo.
Baca Juga: Modernisasi pertanian tekan inflasi pangan, bisa?
Enas dan Asep, para petani muda itu paham bahwa harga jual pertanian memang sering tidak menentu. Terkadang mereka mendapatkan keuntungan berlipat dengan kenaikan harga, namun terkadang jatuh bahkan hingga membuat mereka nombok untuk membeli pupuk atau obat-obatan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.