PEKALONGAN, KOMPAS.TV - Pada Februari 2021, masyarakat dibuat geger akibat banjir berwarna merah pekat yang merendam Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Kejadian itu memperlihatkan secuil sengkarut masalah banjir, pencemaran, dan penggunaan sumur air tanah di Kota Batik itu.
Banjir berwarna merah itu terjadi di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan. Jenggot adalah satu dari 16 kelurahan yang ketika itu dilanda banjir.
Usai menerima laporan warga, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Pekalongan dan Dinas Lingkungan Hidup Pekalongan pun mengutus truk tangki untuk menyedot air banjir yang diduga terkena perwarna batik.
Banjir berwarna merah itu pun surut kembali. Namun, masalah banjir dan pencemaran itu belum berakhir.
Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut, Kota Pekalongan terancam banjir, terutama rob atau pasang besar air laut akibat penurunan muka tanah.
Akibatnya, sekitar 40 persen wilayah Pekalongan saat ini berada di bawah permukaan laut, terutama di Pekalongan Utara dan Pekalongan Barat.
“Sekarang saja sudah lebih dari 40 persen wilayah pesisir Pekalongan itu di bawah laut. Otomatis kalau ada ombak pasang tinggi, terjadi banjir rob,” ujar Heri Andreas pada Kompas TV di akhir November 2021 silam.
Heri menyebut, pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk menangani banjir rob ini dengan membangun tanggul di sepanjang bibir pantai sejak 2015. Namun, tanggul itu tidak dapat menahan seluruh air laut yang mengalir ke pemukiman.
“Kalau tidak ditanggul atau direklamasi, wilayah berada di bawah laut itu bisa tergenang bahkan sebagian tenggelam permanen,” kata Heri.
Menurut Heri, penurunan muka tanah di Kota Pekalongan mencapai 15-20 cm/tahun. Kecepatan penurunan tanah itu adalah yang tercepat di seluruh Pantura, bahkan melebihi DKI Jakarta.
“Sekarang itu, Pekalongan paling cepat penurunan tanahnya, lalu Semarang dan Demak. Kemudian, berurutan ada Jakarta, Cirebon, Surabaya, dan Probolinggo,” beber Heri.
“Hampir 10 tahun ke depan 80 persen Kota Pekalongan akan berada di bawah laut. Belum tentu terendam, kalau ditanggul,” imbuhnya.
Studi dari Flood Zurich Resilience Alliance yang melibatkan tim peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Diponegoro (Undip) juga menyimpulkan hal serupa.
Penelitian aliansi ini tertuang dalam dokumen “Kompilasi Laporan Singkat Analisa Bahaya, Kerentanan dan Risiko DAS Kupang, Pekalongan”.
Flood Zurich Resilience Alliance memperkirakan, hanya 4 kelurahan dari total 26 kelurahan yang memiliki tingkat bahaya ringan sampai tidak terdampak banjir pada 5-10 tahun mendatang.
Sementara, 3 kelurahan memiliki tingkat bahaya banjir sedang, 5 bahaya tinggi dan 14 bahaya sangat tinggi pada 2026-2030.
Dalam skenario terburuknya, 19 kelurahan di Kota Pekalongan bahkan dapat memiliki tingkat bahaya banjir sangat tinggi pada 2026-2030.
Baca Juga: Ancaman Banjir Rob: “Tahun 2030, 80 Persen Kota Pekalongan akan Berada di Bawah Laut”
Heri Andreas mengingatkan soal eksploitasi air tanah lewat sumur-sumur bor sebagai penyebab terbesar penurunan tanah hingga banjir rob di Kota Pekalongan dan pesisir Kabupaten Pekalongan.
“Eksploitasi air tanah kalau dari pemodelan kita, efeknya besar atau dominan bisa sampai 80 persen (untuk penurunan tanah). Karena tanah terus turun dan turun, jadi di bawah laut dan banjir rob,” jelas Heri.
Masalah ini pun diakui oleh Pemerintah Kota Pekalongan. Pemkot Pekalongan mengaku sudah membatasi penggunaaan air tanah dengan menyetop pemberian izin pengeboran sumur baru.
Namun, sumur-sumur air tanah yang sudah ada tetap bisa digunakan, bahkan izinnya dapat diperpanjang. Uniknya, bukan hanya warga biasa yang membuat sumur bor untuk menggunakan air tanah di Kota Pekalongan.
Program penyediaan air minum pemerintah berbentuk Pamsimas hingga BUMD PDAM pun menggunakan air tanah.
“Kita memang sadari pengelolaan air bawah tanah sebagai kota jasa banyak sekali hotel, restoran, industri tidak terlalu banyak dan PDAM juga banyak mempergunakan air bawah tanah,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemkot Pekalongan Joko Purnomo.
“Prediksi kami kurang lebih ada 500 titik sumur air tanah untuk Pamsimas, hotel dan sebagainya,” lanjutnya.
Sebanyak 157 sumur di antaranya adalah sumur dalam (sumur artesis) yang khusus dikuasai hotel, restoran besar, pusat perbelanjaan, dan industri besar.
Sumur-sumur milik swasta itu mendapat izin dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pemkot Pekalongan pun tidak bisa memaksa pihak swasta untuk menutup sumur-sumur itu.
“Karena memang PDAM kita belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih untuk konsumen yang dari sisi usaha. Kalau dari pihak swasta bisa dipenuhi kebutuhannya oleh PDAM, memang mungkin kita bisa mengurangi penggunaan air tanah,” ujar Joko.
PDAM sebagai Badan Usaha Milik Daerah (juga) tidak memiliki banyak alternatif sumber air selain dari air tanah karena air permukaan, seperti sungai, sudah tercemar.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.