KUPANG, KOMPAS.TV - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR mengkaji ulang Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol.
Permintaan Pemprov NTT bukan tanpa alasan. Pasalnya, minuman tradisional khas NTT yakni sopi dan tuak, termasuk dalam minuman alkohol yang dilarang dalam RUU tersebut.
Menurut Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu, minuman sopi dan tuak terkait dengan budaya setempat.
"Sehingga kalau mereka mau membuat RUU itu, berarti mereka mau menghapus budaya NTT," tegas Marius, dikutip dari Kompas.com, Jumat (13/11/2020).
Marius meyakini RUU ini akan mendapatkan penolakan dari masyarakat luas, khususnya di NTT yang selama ini menjadikan minuman itu sebagai mata pencarian dan sosial, budaya.
"Misalnya di Manggarai. Pembicaraan adat belum bisa dimulai tanpa minuman itu. Termasuk juga di Timor, setiap upacara ada ataupun sanksi adat harus disertai sopi," katanya.
Baca Juga: DPR: Publik Jangan Berlebihan, RUU Minol Masih Pembahasan di Baleg
Hal itu, lanjut Marius, merupakan warisan budaya dari para leluhur yang sudah berlangsung ribuan tahun.
Dijelaskannya, minuman sopi atau tuak sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu sebelum negara Indonesia terbentuk. Begitu pula dengan pohon yang menjadi bahan baku sopi, sudah ada sejak dulu kala.
"Apakah kita semua akan membasmi pohon tuak atau pohon lontar sebagai bahan baku sopi? Itu tidak mungkin terjadi, karena tumbuhan itu sudah diberikan Tuhan kepada manusia untuk didayagunakan," kata Marius.
Selain sebagai budaya setempat, minuman tradisional sopi dan tuak merupakan sumber kehidupan masyarakat NTT. Dari minuman tersebut masyarakat membiayai pendidikan dan kesehatan mereka.
"Kecuali negara membuat undang-undang untuk pendidikan dan kesehatan gratis, baru boleh mengeluarkan undang-undang (RUU Larangan Minuman Beralkohol) tersebut," tukas Marius.
Marius menilai, RUU Larangan Minol berpotensi membatasi hingga merugikan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat NTT.
Baca Juga: Perjalanan RUU Minuman Beralkohol, dari Kunker ke Sejumlah Negara Sampai Berganti Nama
DPR tidak boleh melihat dampak minuman itu hanya sebatas memabukkan saja. Cara berpikir seperti itu, menurut Marius, sangat sederhana.
Marius justru berharap DPR mengatur batasan pengolahan minuman keras tradisional seperti sopi, agar bisa dikelola secara modern, yakni bisa diatur kadar alkoholnya.
Salah satu yang dapat diatur adalah, orang yang pantas untuk mengonsumsi minuman beralkohol, seperti mengatur batasan usia minimal 21 tahun.
"Kita harapkan DPR mengkaji secara ilmiah dampak negatif yang ditimbulkan akibat RUU itu. Mereka harus memahami komunitas budaya dengan hubungannya dengan minuman itu," kata dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.