YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Peneliti UGM mengembangkan madu yang diberi nama Madu Wanagama seiring dengan membaiknya ekosistem hutan wanagama. Pengembangan madu ini juga sebagai alaternatif mata pencaharian warga sekitar.
Madu Wanagama dikembangkan dari lebah yang berada di area hutan pendidikan Wanagama seluas 622.25 hektar. Madu yang digunakan berasal dari jenis Apis cerana, dan bukan Apis mellifera yang kerap dibudidayakan untuk skala industri.
Apis cerana adalah lebah lokal Indonesia, serupa dengan Apis dorsata dan jenis lebah lain yang hidup di hutan, sedangkan Apis mellifera berasal dari Australia dan dibudidayakan intensif oleh peternak lebah.
“Arah pengembangan kehutanan ke depan adalah menghasilkan hasil hutan non-kayu seperti madu yang berfungsi sebagai pangan fungsional untuk kesehatan masyarakat dan membantu penyerbukan tanaman hutan dan pertanian,” ujar Dwiko Budi Permadi, peneliti Fakultas Kehutanan UGM, Senin (9/11/2020).
Baca Juga: Juruh Lontar. Gula Cair Dengan Rasa Seperti Madu
Pengembangan madu ternyata sudah dimulai sejak lama, tepatnya pada 1980-an. Ketika itu Wanagama menjadi tempat uji coba spesies yang cepat tumbuh, salah satunya Acacia mangium untuk menghasilkan kayu pulp yang unggul.
Mangium ternyata menghasilkan nektar ekstra floral dari ketiak daunnya, sehingga cocok jadi habitat lebah Apis cerana. Mangium sering mengeluarkan nektar di luar nektar bunga, yang berbunga hanya setahun sekali.
Suatu saat, mangium ditebang karena sudah tua dan terserang penyakit. Akibatnya, koloni lebah banyak yang hijrah dan menurun dan berdampak pada penurunan produksi madu.
Masyarakat sekitar dan pengelola Wanagama akhirnya sadar untuk tetap mempertahankan penghasil nektar dan polen sebagai sumber pakan lebah. Madu Wanagama pun dijaga ketat agar tidak diberi tambahan pakan selain nektar dan polen.
“Ini yang membedakan dari madu budidaya yang sering diberi tambahan pakan buatan bukan dari nektar,” ucap Dwiko.
Sebanyak 40 petani dari sejumlah kelompok tani lebah terlibat dalam pengembangan Madu Wanagama. Mereka berasal dari sekitar hutan wanagama, terutama Banaran dan Gading, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Produksi madu dari hutan wanagama mencapai 680 liter atau hampir sekitar 1 ton untuk satu musim. Hasil tersebut berasal dari sekitar 17 blok yang tersebar di enam petak wanagama dengan jumlah kotak lebah kurang lebih 500 sampai 600 koloni.
“Total kotak yang tersebar lebih dari 2000, namun hanya seperempat yang terisi koloni,” tuturnya.
Madu yang dipasarkan oleh Wanagama relatif lebih mahal ketimbang madu di pasaran, yakni berkisar Rp 600.000 sampai Rp 700.000 per liter.
Baca Juga: Detik-Detik Evakuasi Pencari Madu yang Jatuh ke Jurang
Pemanenan madu menggunakan cara yang unik, yakni ekstraksi madu dari sarangnya dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu di atas 70 derajat Celsius selama 20 menit.
Dwiko tidak menampik, cara ini menuai pro kontra karena ada literature yang mengatakan bakal terjadi kerusakan nutrisi dan kimia jika madu dipanaskan. Namun, ia menegaskan gal itu hanya berlaku untuk madu kemasan yang sudah keluar dari sarangnya.
Madu Wanagama sudah diteliti dan hasil uji kimia laboratorium konversi biomaterial Fakultas Kehutanan UGM menunjukkan proses ekstraksi madu dengan pemanasan lebih baik.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.