YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Air hujan kerap disepelekan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi warga Tempursari, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Setiap tahun mereka menggelar kenduri banyu udan. Kegiatan ini dipelopori Komunitas Banyu Bening. Pada tahun ini, kenduri banyu udan digelar di halaman Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Sabtu (24/10/2020).
Rangkaian acara kenduri banyu udan yang tidak pernah berubah adalah kirab air hujan. Kali ini, tarian Riris Mangenjali yang dibawakan sembilan penari mengiringi prosesi itu.
“Selama ini warga masih memandang negatif air hujan, sebagai sumber penyakit dan bencana, padahal tidak seperti itu,” ujar Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening.
Baca Juga: Tak Mampu Menampung Air Hujan, Ratusan Rumah Warga Terendam Banjir
Ia sudah membuktikan dan menyosialisasikan manfaat air hujan kepada masyarakat. Pola 5 M diterapkan untuk air hujan, yakni, menampung, mengolah, minum, menabung, dan mandiri.
Yu Ning, sapaan akrabnya, sudah menabung air hujan sejak 2012. Air hujan yang ditampung bisa untuk segala aktivitas, layaknya air PDAM atau air sumur.
Cara menampung air hujan ada dua macam, menggunakan gama rain filter atau secara manual. Untuk menampung air hujan secara manual, maka air hujan yang turun dari langit tidak bisa langsung ditampung.
Baca Juga: Air Hujan Tak Pengaruhi Erupsi Gunung Agung
“Setidaknya tunggu 15 sampai 20 menit hujan turun baru bisa ditampung agar polutan terendap dan tidak ikut tertampung,” ucap Yu Ning.
Air hujan yang dikonsumsi juga harus memenuhi sejumlah syarat, seperti Ph minimal 7 dan kandungan mineral tidak lebih dari 50 TDS. Hasil pengukuran yang pernah dilakukannya, kandungan mineral air hujan hanya 4 TDS, jauh lebih sedikit ketimbang air suru 78 TDS dan air mineral 124 TDS.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.