JAKARTA, KOMPAS.TV – Pendidikan pesantren kini telah mengantongi pengakuan negara, terutama setelah Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren diberlakukan.
Dengan pengakuan itu, maka pihak yang tidak mengakui legalitas ijazah pesantren bakal berhadapan dengan hukum.
Baca Juga: Sudah Diakui Pemerintah, Majelis Masyayikh Sebut Pesantren Kini Tak Harus Punya Sekolah Formal
Pernyataan tersebut menyeruak pada saat Sosialisasi UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Cidahu, Banten, Senin (20/11/23).
“Saat ini lembaga pendidikan pesantren telah memiliki legalitas yang jelas. Untuk itu tidak boleh ada lagi entitas atau lembaga yang menolak ijazah pesantren dengan mempermasalahkan legalitasnya,” ujar KH. Abdul Ghofur Maimoen, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Senin.
Hal tersebut salah satunya dilatarbelakangi peristiwa penolakan ijazah pesantren yang sempat terjadi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada 2021 lalu.
Ketika itu seorang perangkat desa bernama Akhmad Agus Imam Sobirin (41) yang telah lulus serangkaian ujian tidak dapat dilantik sebagai Sekretaris Desa.
Pasalnya, Pemkab Blora menganulir kelulusan Agus Imam Sobirin sebagai perangkat desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora karena hanya lulusan pesantren, tanpa memiliki ijazah formal.
Padahal, ia telah lolos tes komputer dengan nilai 80 atau paling tinggi di antara 26 peserta lainnya.
Ia pun tidak mengalami masalah saat pendaftaran, seleksi administratif, hingga serangkaian tes.
Rupanya, ijazah pesantren tidak diakui dalam Peraturan Bupati Blora Nomor 36 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Blora Nomor 37 Tahun 2017 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Perangkat Desa.
Di situ disebutkan perangkat desa harus memiliki ijazah formal.
Penolakan itu pun akhirnya menimbulkan polemik hingga bergulir ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Baca Juga: Resmi, Majelis Masyayikh Kemenag Luncurkan Dokumen Sistem Penjaminan Mutu Pesantren se- Indonesia
Dengan demikian, kata pria yang akrab disapa Gus Ghofur itu, semua instansi tidak boleh menolak ijazah pesantren apabila recquirement-nya terpenuhi. Termasuk lembaga kepolisian, TNI, dan sekolah kedinasan.
“Yang menyebabkan alumni pesantren tidak lolos seleksi adalah ujian, bukan syarat administratif atau legalitas ijazah,” tuturnya.
Menurutnya, setelah negara memberikan pengakuan penuh, maka kini pesantren tak lagi menghadapi isu rekognisi negara, tetapi kualitas lulusannya.
Gus Ghofur meminta semua pihak memahami substansi UU No 18 tentang Pesantren yang memberikan derajat setara antara pendidikan formal dan non formal.
Sehingga, alumni pesantren dan sekolah umum derajatnya sama, hanya dibedakan pada pilihan spesialisasi atau kompetensi bidang.
Gus Ghofur berharap, saat ini semua pihak lebih mengerti tentang rekognisi pemerintah terhadap pesantren.
Sehingga alumni pesantren dapat melanjutkan ke mana pun atau melamar ke instansi mana pun.
Baik negeri maupun swasta, tanpa harus mengikuti ujian persamaan Kemendibud atau Kemenag.
Sebagai langkah lanjutannya, kalangan pesantren kini tengah berproses menuju standarisasi mutu agar tetap diakui masyarakat sebagai lembaga pendidikan unggul.
Dalam acara bertajuk "Profil Santri Indonesia, Dewan Masyayikh, dan Rancangan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren" itu dibahas bahwa negara telah merekognisi pendidikan pesantren dalam bentuk aslinya yang dulu dikenal sebagai pendidikan salafiyah.
Bahkan, kini Majelis Masyayikh telah melaunching Dokumen Penjaminan Mutu Pesantren yang menjadi acuan induk penjaminan mutu bagi pondok pesantren di Indonesia.
Dokumen ini menjadi referensi operasional yang menerjemahkan UU pesantren dalam bentuk standar yang jelas.
“Standar mutu ini mengarahkan pesantren kepada pendidikan yang mengacu pada dokumen profil santri Indonesia,” ujar Pengasuh pesantren Miftahul Huda, Kalimanggis, Manonjaya, Tasikmalaya, KH. Abdul Aziz Affandy.
"Pengakuan pemerintah tidak boleh dibalas pengkhianatan, tetapi pesantren harus mempersembahkan mutu," imbuh kiyai yang juga anggota Majelis Masyayikh ini.
Sebagai informasi, Majelis Masyayikh adalah lembaga induk penjaminan mutu pesantren yang dibentuk berdasarkan UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren, dan Keputusan Menteri Agama Nomor 1154 Tahun 2021 tentang Majelis Masyayikh yang menetapkan 9 orang anggotanya dari unsur pemerintah dan unsur pesantren di Indonesia.
Pembentukan Majelis Masyayikh menjadi konsekuensi dari pengakuan pemerintah sepenuhnya terhadap pesantren, sehingga pesantren harus dapat menjaga mutunya secara mandiri.
Baca Juga: Menag Yaqut Kukuhkan 9 Ulama sebagai Majelis Masyayikh, untuk Apa?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.