JAKARTA, KOMPAS.TV - Dewi Sartika adalah tokoh perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi para perempuan pribumi, ketika kolonialisme Belanda sedang mencengkeram tanah air.
Ia lahir pada 4 Desember 1884 di Cicalengka, Jawa Barat, dari keluarga menak (bangsawan) Sunda.
Ayahnya, Rangga Somanegara, dan ibunya, Raden Ayu Rajapermas, merupakan pasangan darah biru tanah Sunda.
Kakek dari pihak ibu, R.a. Wiranatakusumah IV merupakan Bupati Bandung (1846-1874).
Sebagai anak bangsawan, Dewi Sartika punya keistimewaan belajar di sekolah khusus para anak bangsawan yaitu Eerste Klasse Indlandsche School.
Namun dia juga diajarkan oleh pamannya, terutama tentang adat dan tradisi Sunda, untuk mengimbangi pelajaran bahasa Belanda di sekolah.
Ketika berusia 10 tahun, Dewi Sartika sudah mengajar anak-anak perempuan sebayanya baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda.
Kala itu, kepatihan dibuat heboh. Sebab waktu itu belum banyak anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan pula.
Baca Juga: Warga Dewi Sartika Saling Serang dengan Sajam dan Bom
Rupanya, bakat mengajar Dewi Sartika mulai tumbuh. Keinginan untuk mendirikan sekolah pun makin kuat ketika sang kakek, R.A.A.Martanegara, dan Den Hamer yang menjabat sebagai Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, mendukung pendirian sekolah pada 1904.
Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Pada tahun 1910, sekolah itu berganti nama menjadi "Sakola Kautamaan Isteri" yang mengambil tempat di pendopo kabupaten.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan khusus perempuan, sekolah ini bisa disebut yang pertama di Indonesia, yang kala itu masih bernama Hindia Belanda.
Ketika sekolah pertama dibuka, muridnya 60 orang dengan 3 guru. Pelajaran yang diajarkan seperti merenda, merancang pakaian, dan tata krama pergaulan (sopan santun).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.