JAKARTA, KOMPAS TV - Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan bank BNI senilai Rp 1,7 triliun berhasil ditangkap setelah 17 tahun lamanya buron atau melarikan diri.
Maria kini harus mengakhiri pelariannya setelah dicokok pulang ke Tanah Air oleh Kementerian Hukum dan HAM lewat jalur ekstradisi dari Serbia pada Kamis (9/7).
Wanita kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, 27 Juli 1958 itu merupakan salah satu tersangka pembobolan dana Bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus pengajuan Letter of Credit (L/C) fiktif.
Jika membuka jejak kasus pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun ini oleh Maria Pauline Lumowa dan kawan-kawannya, tampak sejak awal pengucuran fasilitas letter of credit alias L/C senilai US$ 157,4 juta dan 56,1 juta euro ini penuh kejanggalan.
Bukan cuma proses pengajuan yang menerabas prosedur normal. Penelitian terhadap berkas-berkas pengajuan L/C Rp 1,7 triliun oleh Maria Pauline banyak bolongnya.
Hasil tim audit BNI yang bekerja sejak awal Agustus 2003 saat itu membuktikan kejanggalan tersebut.
Misalnya, bank penerbit L/C-Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland SA, Middle East Bank Kenya, The Wall Street Banking Corp.-bukan termasuk bank koresponden BNI.
Tapi, BNI saat itu terkesan mengabaikannya karena tidak memverifikasi keabsahan dokumen pengapalan atau bill of loading (B/L).
Contohnya, jumlah barang pengiriman pasir kuarsa dan minyak residu yang tidak wajar. Dalam sebuah formulir tertulis, bobot seberat 1,5 juta metrik ton pasir, tapi yang diangkut cuma dengan satu kapal.
Pelabuhan yang dituju pun tak disebutkan pasti, alamat tujuan pengiriman barang juga tak jelas. Yang diketahui cuma B/L dikeluarkan oleh PT Celebes Jaya Lines.
Uniknya, L/C yang jatuh tempo dilunasi dengan uang yang didebet atau ditransfer dari rekening nasabah.
Padahal, seharusnya Bank BNI menagih ke bank penerbit L/C dan transfer dilakukan bank tersebut. BNI tampaknya menganggap wajar hal itu.
Bank BNI tak pernah mengajukan keberatan atas pembayaran ini. Lebih aneh lagi, ada beberapa wesel ekspor berjangka yang belum jatuh tempo malah sudah dimintakan perpanjangan sampai enam bulan.
Keterlibatan Orang Dalam
Kalau tidak dimuluskan oleh orang dalam BNI sendiri, hampir tak mungkin segala keanehan itu bisa berlangsung dari Desember 2002 sampai Juli 2003.
Seiring waktu, kejanggalan baru diketahui oleh bagian treasury BNI pada Juni 2003. Itu setelah ditemukan peningkatan angka kewajiban dalam mata uang euro di atas tingkat rata-rata. Mendapat laporan itu, tim audit BNI segera diturunkan.
Hasilnya, ditemukan kejanggalan seperti diterangkan di atas. Temuan tim audit tersebut lantas bocor ke publik yang kemudian menjadi skandal pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun dengan L/C fiktif.
Dugaan L/C fiktif ini oleh BNI kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dulu terbang ke Singapura pada September 2003, sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Banyak pertanyaan yang mengganjal atas pembobolan Rp 1,7 triliun lewat L/C fiktif yang dilakukan oleh Maria Pauline cs itu. Salah satunya, kenapa duit sebesar itu mudah keluar hanya dengan L/C tak jelas.
Hasil Tim Audit BNI kala itu juga menemukan fakta yang membuat publik saat itu terhenyak. Duit itu ternyata bukan diperuntukkan perdagangan pasir dan minyak.
Malah, 10 perusahaan yang terlibat dalam pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun itu mentransfer dana ke beberapa rekening.
Salah satunya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membayar aset PPAK. Dana juga lari ke PT Bukaka Marga Utama untuk membeli konsesi proyek jalan tol Ciawi-Sukabumi. Ironisnya, US$ 50,9 juta (Rp 433 miliar) di antaranya dipakai melunasi L/C ke BNI.
Salah satu langkah yang diusahakan saat itu untuk mengurangi risiko kerugian itu adalah memblokir rekening beberapa perusahaan dan perorangan yang diduga kecipratan aliran duit L/C itu.
Pihak BNI juga berusaha mendekati Maria Pauline Lumowa alis Eri dan Adrian Waworuntu sebagai penjamin duit untuk tetap mengembalikan sisa uang yang paling akhir jatuh tempo April 2004 lalu.
Polisi saat itu berhasil menyita uang tunai US$ 238.000 dari tangan Edi Susanto, salah satu tersangka yang ditahan.
Beberapa perusahaan terkait kasus pembobolan dana Rp 1,7 triliun itu juga ditelisik. Lalu muncul nama perusahaan PT Gramarindo Mega Indonesia dan anak perusahaannya Triranu Caraka Pasifik.
Pengelola Gramarindo antara lain Ollah Abdullah Agam, sedangkan Direktur Utama Triranu Caraka Pasifik adalah Jeffrey Baso.
Kasus itu juga menyeret PT Brokolin Internasional. Bankir veteran Dicky Iskandar Dinata adalah Pimpinan Eksekutif Brokolin Internasional juga menerima aliran dana dari Gramarindo.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.