KOMPAS.TV - Kasus pelarangan diskusi di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) dinilai mencederai kebebasan berpendapat. Apalagi hal itu terjadi di kampus sebagai institusi akademik.
Namun, Juru bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman memastikan bahwa tidak ada campur tangan Istana dalam pelarangan diskusi di kampus UGM. Termasuk juga yang terjadi di Universitas Indonesia (UI).
Fadjroel menyatakan, Istana tidak melarang diskusi ilmiah. Dia juga mengaku heran pembatalan diskusi ilmiah di kampus dikaitkan dengan pemerintah Jokowi mulai mengarah kepada rezim otoriter.
"Saya juga bertanya-tanya siapa yang mengancam. Sekarang kan sedang dicari oleh penegak hukum," ujar Fadjroel saat diskusi bertema Jokowi dan Masa Depan Demokrasi yang ditanyangkan langsung di program Rosi, KompasTV, Kamis (11/6/2020).
Baca Juga: Jubir Presiden: Pembatalan Diskusi Akademik Tidak Ada Hubungannya Dengan Istana
Fadjroel kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah melarang diskusi ilmiah dengan kebebasan akademik. Termasuk juga jika diskusi tersebut berurusan dengan administrasi kampus dan penegak hukum.
"Jadi tidak ada hubungannya dengan Istana," ujar Fadjroel.
Menurut Fadjroel, Presiden Jokowi pun tidak bisa mengintervensi penegak hukum untuk mengusut pelaku teror diskusi UGM.
"Jangan menyerahkan semua beban ke Presiden. Segala hal diselesaikan berdasarkan wilayahnya sendiri-sendiri. Biarkan penegak hukum yang bertindak," katanya.
"Ini sama saja dengan mengimbau Presiden harus menguasai segala-galanya, harus mengatur segalanya, justru itu yang berbahaya yang kita tentang pada masa orde baru," jelasnya.
Presiden Bisa Ikut Campur
Pada kesempatan yang sama, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar menuturkan bahwa sistem presidensil menempatkan pertanggungjawaban berada pada presiden.
Artinya, presiden bisa ikut campur termasuk dalam hal penegakan hukum.
Zainal juga menyebut bahwa Jokowi pernah ikut campur mengintervensi aparat penegak hukum.
"Pak Jokowi (pernah) menyampaikan pidato bahkan mengatakan kepada jaksa dan polisi di daerah supaya tidak mudah mengkriminalkan proses kebijakan dan lain-lain sebagainya. Itu sempat diributkan juga kala itu sebagai ikut campur tangannya presiden dalam proses penegakan hukum," katanya.
Baca Juga: Soal Teror Diskusi FH UGM, Mahfud MD: Gak Usah Dilarang!
Teror Diskusi UGM
Diketahui sebelumnya, diskusi yang diinisiasi oleh Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) batal dilaksanakan.
Diskusi yang diselenggarakan secara daring itu diketahui bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Diskusi CLS UGM sempat menuai polemik karena berkaitan dengan tajuk yang diusung. Panitia penyelenggara, mahasiswa, hingga narasumber dalam diskusi tersebut mendapat teror, intimidasi, dan ancaman kekerasan.
Diskusi tersebut kemudian berganti judul menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Panitia menegaskan tema dan kegiatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan aksi makar atau gerakan politis lainnya. Kegiatan yang dilakukan murni bersifat akademis.
Setelah diskusi di UGM giliran diskusi yang digagas BEM UI bertema PapuanLivesMatter Rasisme Hukum di Papua dibatalkan rektorat.
Kegiatan diskusi rencananya digelar secara daring pada Sabtu (6/6/2020) lalu dengan moderator Ketua BEM UI 2020 Fajar Adi Nugroho.
Pengisi acara diskusi tersebut adalaah pengacara HAM Veronica Koman, pengacara HAM Papua Gustaf Kawer, dan seorang mantan tahanan politik Papua yang tidak dipublikasikan namanya.
Rektorat UI menilai narasumber yang didatangkan BEM UI dalam diskusi bertajuk "#PapuanLivesMatter Rasisme Hukum di Papua" tidak memenuhi prinsip keberimbangan.
Baca Juga: BIN - UI Nilai Diskusi Soal Papua Tidak Berimbang
Butuh Pernyataan Kebebasan Berpendapat
Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung menyayangkan tidak ada sikap dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penghentian diskusi di kampus tersebut.
Menurut Rocky, Presiden Jokowi seharusnya bisa menegaskan kepada publik bahwa kampus merupakan wadah dalam mengeluarkan kebebasan berpendapat.
Hal ini sebagai arah pemerintah agar pelarangan diskusi dan berpendapat tidak terjadi kembali.
Rocky sependapat jika Presiden tidak boleh ikut campur dalam konteks kriminalitas.
Namun dalam kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945, presiden dapat melakukan intervensi.
"Soal HAM itu bukan soal intervensi atau tidak intervensi, presiden sebagai kepala eksekutif dan kepala negara harus public address bahwa kampus itu bebas mengucapkan apa saja, termasuk mencaci maki presiden," ujar Rocky saat diskusi bertema Jokowi dan Masa Depan Demokrasi yang ditanyangkan langsung di program Rosi, KompasTV, Kamis (11/6/2020).
Lebih lanjut, Rocky menilai tidak adanya pernyataan Presiden Jokowi secara tidak langsung telah mengesahkan dan mengamini pandangan bahwa rezim Jokowi telah melakukan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Terutama di dalam kampus.
Baca Juga: Rocky Gerung Sayangkan Sikap Diam Istana Soal Kebebasan Berpendapat di Kampus
Menurutnya memang tidak ada campur tangan istana langsung dalam hal tersebut. Namun, Presiden Jokowi dapat intervensi dalam pelanggaran HAM dalam pelarangan diskusi tersebut.
"Berbicara itu adalah bagian tertinggi dari hak asasi. Presiden tidak kasih aura yang membuat orang, kampus terutama berfikir bahwa jangan melarang mahasiswa. Faktanya tidak ada satupun keterangan dari presiden," ujar Rocky.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.