Budiman Tanuredjo
Jumat pagi, 6 Maret 2020, seorang purnawirawan jenderal mengirim pesan kepada saya. Dia menyertakan tautan berita kutipan seorang petinggi negeri yang kira-kira berbunyi, ”Kita akan terapkan sertifikat bebas korona.” Dia memberi komentar, ”Tindakan mubazir karena virus tidak takut dengan sertifikat. Sebaiknya kita ikuti saja standar WHO. Enggak usah aneh-aneh.”
”Serangan” korona membuat bangsa ini tergagap. Bicara sekenanya. Kadang disertai guyonan tidak perlu yang jadi santapan portal berita pemburu clickbait. Padahal, harian ini, sudah jauh hari mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi penyebaran virus korona setelah diketahui merebak di Wuhan, Januari 2020. Ahmad Arif dalam artikelnya di harian Kompas, 11 Februari 2020, menulis dengan judul keras, ”Indonesia, antara Kebal dan Bebal...”. Tulisan itu merupakan peringatan dini agar pemerintah mengantisipasi.
Sebelum terungkap, para elite mungkin berharap korona tak masuk Indonesia. Ada yang bilang itu berkat doa. Ada orang secara berkelakar mengatakan ”perizinannya sulit”. Padahal, seperti diperingatkan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, ”Negara yang berasumsi tidak akan terpapar kasus bisa jadi kesalahan fatal. Virus korona tak menghormati perbatasan.”
Kini, terbukti virus korona menginfeksi empat warga negara Indonesia. Pengumumannya disampaikan sendiri oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Kepanikan terjadi. Nama pasien yang seharusnya rahasia diumbar. Rumah pasien dipasangi garis polisi. Pejabat daerah menggelar jumpa pers. Polri menggerebek gudang yang katanya menimbun masker. Padahal, masker belum dikategorikan sebagai bahan pokok. Media disalahkan sebagai penyebar ketakutan. Tuduhan gegabah.
Ketika kepanikan terjadi, beredar kutipan Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dirjen berkebangsaan Etiopia dan pernah menjadi Menteri Kesehatan Etiopia ini mengatakan, ”Musuh terbesar kita bukan virus itu sendiri, tetapi ketakutan, rumor, dan stigma. Kekuatan terbesar kita adalah fakta, penjelasan (ilmiah), dan solidaritas.”
Pernyataan Ghebreyesus diedarkan untuk meredam kepanikan. Sebagian kata Ghebreyesus dipakai Presiden Jokowi ketika berbicara kepada pers untuk meredam kepanikan. Ada tambahan kata gotong royong setelah solidaritas. Bangsa ini memang tergagap ketika korona datang. Kedatangan korona memang menghambat diskursus soal RUU omnibus law yang ditargetkan selesai dalam 100 hari. Korona juga menghambat promosi wisata melalui influencer yang sudah dianggarkan Rp 72 miliar.
Tidak tahu apakah rencana penerbitan sertifikat bebas korona dan penggerebekan penimbun masker merupakan bagian dari protokol yang disusun. Meski terlambat, empat protokol soal komunikasi, soal kesehatan, imigrasi, dan pendidikan itu diperlukan untuk memandu pejabat dalam berkomunikasi dengan masyarakat mengenai apa yang harus dilakukan. Perbaikan dari sisi komunikasi dilakukan. Jumpa pers digelar teratur. Itu perkembangan positif.
Bangsa ini bukan pertama kali menghadapi pandemi. Pada 2006, flu burung merebak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Komite Nasional Pengendalian Flu Burung. Lewat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2006, tertanggal 13 Maret 2006, Presiden Yudhoyono menunjuk Menko Kesra sebagai koordinator. Komnas dilengkapi panel ahli. Komandan pengendalian pandemi flu burung berada di tangan Menko Kesra.
Presiden Jokowi sudah menandatangani Instruksi Presiden No 4/2019 tertanggal 17 Juni 2019. Inpres itu berjudul Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. Berbeda dengan Perpres No 7/2006, inpres ini isinya instruksi Presiden kepada 16 menteri, Panglima TNI dan Kapolri, empat kepala badan, serta gubernur dan bupati. Dalam inpres tidak ditunjuk siapa yang menjadi ”komandan”.
Pusat pengendalian krisis rasanya diperlukan. Bukan hanya pada saat outbreak, melainkan post outbreak. Kondisi ekonomi yang terdampak pascakorona butuh perhatian. Perlu ada komandan. Inpres No 4/2019 perlu dipertegas dengan menunjuk komandan pengendalian sehingga pejabat tidak jalan sendiri-sendiri.
Imbauan Ghebreyesus soal ketakutan, rumor, dan stigma harus dijawab pemerintah dengan penjelasan kredibel dan otoritatif. Kepanikan belanja dijawab dengan komunikasi pemerintah yang menjamin ketersediaan barang.
Saatnya masyarakat sipil menggalang solidaritas. Saatnya organisasi pengusaha mengimbau anggotanya untuk tidak memanfaatkan keadaan guna mencari laba. Ini justru momentum orang berpunya berkontribusi, misalnya dengan menyediakan masker di ruang publik dan peralatan yang dibutuhkan secara gratis. Ini sikap berbela rasa. Dokter dan ahli bisa bertemu membangun konsensus bersama dan merumuskan langkah bersama yang harus dilakukan pemerintah. Perang melawan korona adalah perang bersama. Butuh kolaborasi intra dan antarbangsa. Jauhkan terlebih dahulu persaingan politik jelang 2024. Keselamatan warga lebih utama. Jangan terlalu banyak celometan tapi bangun kebersamaan. Kepemimpinan menjadi faktor kunci.
Artikel ini telah tayang di Kompas Sabtu, 07-03-2020. Halaman: 02, Kolom Politik BERBELA RASA MELAWAN KORONA.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.