KOMPAS.TV - Selama tiga dekade, adat istiadat Budaya Tionghoa mengalami masa senyap dengan bebarapa aturan diskriminatif.
Dan di tahun 2000, akhirnya Imlek dapat dirayakan secara terbuka. Perayaan tahun baru imlek di Indonesia, sempat mengalami pasang surut dalam beberapa periode.
Berawal dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No.14 Tahun 67, yaitu pelarangan merayakan hari-hari besar yang berhubungan dengan Adat Istiadat Tionghoa, berimbas kepada warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Selama kurun waktu dari tahun 1967 hingga 1998, sejumlah aturan diskriminatif dikeluarkan untuk melarang pemakaian atribut-atribut bernuansa Tionghoa. Aturan ini dianggap mendiskriminasi warga keturunan Tionghoa dalam pelaksanaan peribadatan dan perayaan.
Akhirnya, aturan tersebut dihapus pada masa Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) di tahun 2000. Gusdur akhirnya mengganti peraturan tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No.6 Tahun 2000 bersamaan dengan penetepan agama Konghucu sebagai enam agama yang diakui di Indonesia.
Tuntutan untuk bebas melangsungkan perayaan Imlek segera dikabulkan oleh Gusdur dengan menginstruksikan Budi S Tanuwibowo yang kala itu menjabat sebagai Ketua Panitia Perayaan Imlek dan kawan-kawannya dari Majelis Agama Tinggi Konghucu untuk merayakan Imlek bersama dua kali.
Ketua Majelis Agama Tinggi Konghucu Indonesia, Budi S Tanuwibowo menegaskan bahwa saat zaman Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, perayaan Imlek bisa di Indonesia diibaratkan 'beku'. Namun, kondisi ini dipulihkan saat kepemipinann Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.