KOMPAS.TV – Pakar Hukum Tata Negara Unversitas Andalas, Feri Amsari, menjelaskan proses pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) RI bedasarkan aturan perundang-undangan di Indonesia.
Mengutip laporan tim jurnalis KompasTV, Senin (28/4/2025), menurut Feri, usulan impeachment atau pemakzulan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka pada Presiden RI, Prabowo Subianto, dipastikan tidak sesuai dengan undang-undang.
“Semua orang punya hak bersuara. Tapi kalau pertanyaannya apakah pilihan pernawirawan TNI untuk mengusulkan impeachment Gibran kepada Presiden, sudah pasti tidak sesuai undang-undang dasar, Pasal 7A, pasal 24C. Itu semua mengatakan harus usul DPR,” bebernya, Senin.
Namun, kata Feri, jika para purnwirawan tersebut ingin mengajukan pembahasan pemakzulan dengan cara yang benar, mereka harus mengusulkan pada DPR.
Baca Juga: Forum Purnawirawan TNI Usul Copot Wapres Gibran, Ini Respons MPR
“Jadi kalau mau benar, prnawirawan itu datang ke DPR mengusulkan untuk pembahasan impeachment Wakil Presiden.”
“Boleh kan? Boleh, karena menurut Undang-Undang Dasar, boleh dua-duanya diberhentikan, boleh salah satu,” tuturnya.
Hal itu, kata Feri, sama dengan saat proses pelantikan, yakni boleh dilantik keduanya atau hanya salah satunya.
“Nah, kalau sudah sampai usulan itu, maka diusulkan oleh anggota DPR, nanti akan dibahas paripurna oleh DPR dua per tiga jumlah anggota wajib hadir, sekitar 287,” imbuhnya.
“Angkanya besar, oposisi saja 110, itu pun setengah hati. Jadi agak berat, tetapi kalau memang mau serius, harusnya usul pemberhentian Wakil Presiden itu dengan catatan-catatan ilmiah awal untuk diusulkan pembahasan impeachment.”
“Sampai hari ini kan baru omong-omongnya,” tambah Feri.
Ia juga menyampaikan bahwa pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden merupakan sesuagtu yang biasa, tetapi dirancang sulit di dalam sistem presidensial.
Baca Juga: Wakil Ketua MPR soal Pemakzulan Gibran: Kita Berpegang pada Hasil yang Ditetapkan KPU
“Bayangkan sulitnya diusulkan oleh DPR, perlu dua per tiga yang hadir itu setuju. Setuju baru dibawa ke MK, setelah di MK terbukti, dinyatakan terbukti sah melanggar hukum satu, atau tidak terpenuhi syarat menjadi Presiden atau Wakil Presiden,” bebernya.
“Melanggar hukum ini lima cacatnya. Pengkhianatan negara, korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tersebut. Jadi ada dua mekanisme, dia melanggar hukum atau tidak terpenuhi syarat menjadi Wakil Presiden.”
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.