JAKARTA, KOMPAS TV - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati menyampaikan sikap tegas menanggapi sorotan Amerika Serikat (AS) terhadap sistem pembayaran Indonesia, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), yang disebut menjadi salah satu alasan pengenaan tarif hingga 32 persen oleh pihak AS.
Politikus PKS itu menegaskan, QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) merupakan simbol nyata kedaulatan ekonomi Indonesia yang harus dijaga dan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan negara lain.
“Indonesia harus menjaga kedaulatan ekonominya yang ditunjukkan dengan hadirnya GPN dan QRIS. Kita adalah negara berdaulat, jangan sampai kedaulatan ekonomi dan keuangan yang sudah kita bangun susah payah harus kita korbankan begitu saja,” ujar Anis dalam pernyataannya, Rabu (23/4/2025).
Baca Juga: Diprotes AS, Hanif Dhakiri Sebut QRIS Bukan Sekadar Sistem Pembayaran tapi juga Kedaulatan Digital
Terkait langkah pemerintah Indonesia yang kini tengah melakukan negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat, Anis menyatakan dukungannya terhadap proses diplomasi ekonomi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
“Negoisasi yang dilakukan oleh Pemerintah harus menghasilkan solusi yang win-win solution, menghormati kedaulatan ekonomi masing-masing negara. Ini harus setara, jangan sampai merugikan kepentingan nasional kita,” ujarnya.
Anis juga menyoroti pentingnya QRIS sebagai inovasi besar dalam sistem pembayaran Indonesia.
Ia menyebut QRIS, yang dikembangkan oleh Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) telah memberikan dampak signifikan dalam mendorong inklusi keuangan dan mempermudah akses pembayaran digital.
“Kita harus bangga dengan capaian ini. QRIS adalah langkah maju bangsa dalam memperkuat sistem pembayaran nasional yang aman, efisien, dan independen,” kata Anis.
Protes AS terkait QRIS dan GPN ini tercantum dalam dokumen yang disusun Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), yang berisi daftar hambatan perdagangan di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Dokumen tersebut dirilis pada akhir Maret 2025, sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
USTR menyoroti adanya hambatan di sistem pembayaran yang diterapkan di Indonesia, lewat peraturan BI terkait penggunaan QRIS.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada,” demikian tulis USTR, dikutip Selasa (22/4/2025).
Sementara terkait penerapan GPN yang diatur dalam Peraturan BI No. 19/08/201, USTR menyinggung pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
AS juga menyoroti Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 yang mengamanatkan perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan penyedia switching GPN Indonesia yang berizin untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN.
USTR menggaris bawahi terkait perjanjian kemitraan yang harus disetujui oleh BI dan persetujuan juga mempertimbangkan apakah perusahaan mitra asing terkait mendukung pengembangan industri di Indonesia, termasuk melalui transfer teknologi.
BI Siap Kerja Sama dengan AS
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyatakan, pihaknya siap bekerja sama dengan AS terkait penerapan QRIS. Namun hal itu bergantung pada kesiapan kedua negara.
Baca Juga: Cara Aktivasi NFC Pay dan Gunakan QRIS Tap di Aplikasi myBCA
Seperti yang dilakukan RI dengan negara-negara ASEAN sebelumnya.
Destry menegaskan, Indonesia pada dasarnya tidak membeda-bedakan negara yang menjalin kerja sama dalam sistem pembayaran digital ini.
“Kalau Amerika siap, kita (Indonesia) siap, kenapa tidak (untuk kerja sama)?” kata Destry seperti dikutip dari Antara, Senin (21/4/2025).
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.