JAKARTA, KOMPAS TV – Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa tidak boleh ada toleransi terhadap tindakan kekerasan seksual, termasuk di lingkungan pendidikan tinggi. Puan berharap proses hukum berjalan profesional tanpa pandang bulu.
Pernyataan ini disampaikan menyusul dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) berinisial EM.
“Dan tidak boleh ada kekebalan hukum meski pelaku adalah guru besar atau tokoh terkemuka. Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu. Siapa pun pelakunya, harus bertanggung jawab di hadapan hukum," kata Puan kepada wartawan, Rabu (9/4/2025).
Baca Juga: UGM Pecat Guru Besar Diduga Pelaku Kekerasan Seksual, 13 Mahasiswi Jadi Korban
“Tidak boleh ada sedikitpun toleransi terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya,” imbuhnya.
Menurut Puan, tindakan tersebut tidak hanya mencoreng nama baik kampus, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik.
“Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik,” ujarnya.
Ia menyebut, kampus semestinya menjadi ruang aman dan bermartabat bagi mahasiswa, bukan tempat yang mengancam masa depan mereka.
"Kampus seharusnya jadi ruang aman, bermartabat, dan menjadi benteng utama dalam membangun nilai-nilai etika serta peradaban, bukan malah menjadi tempat pelecehan berulang," kata Puan.
Politikus PDIP itu mendorong aparat penegak hukum untuk menangani kasus ini secara transparan dan adil. Ia menekankan bahwa tidak boleh ada pengecualian hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"Sekali lagi, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap kekerasan seksual. Terlebih jika itu terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi generasi muda kita,” katanya.
Selain itu, kata dia, dalam UU TPKS terdapat ketentuan pemberatan hukuman jika pelaku adalah tokoh pendidik.
“Dalam UU TPKS juga diatur adanya pemberat hukuman jika pelaku merupakan seorang tokoh pendidik. Saya harap hal ini juga menjadi pertimbangan dalam proses hukum kasus ini,” ujarnya.
Ia juga mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk memperkuat implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
"Satuan Tugas PPKS perlu diberi kewenangan lebih luas dan dukungan yang memadai agar tidak menjadi formalitas semata," ujar Puan.
Puan menekankan perlunya audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik dan tata kelola etika kampus, terutama untuk mencegah pelecehan yang terjadi akibat relasi kuasa.
“Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dengan mahasiswa biasanya terjadi karena relasi kuasa. Maka harus ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik,” katanya.
Baca Juga: Guru Besar UGM Dipecat Buntut Dugaan Kekerasan Seksual terhadap 13 Mahasiswi, Begini Modusnya
Sebelumnya, seorang guru besar Fakultas Farmasi UGM berinisial EM dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual terhadap belasan mahasiswi di kediamannya. Dugaan pelecehan terjadi dalam kurun waktu 2023–2024, dengan modus bimbingan akademik di luar kampus.
Padahal, UGM telah mengatur seluruh kegiatan perkuliahan, termasuk bimbingan, harus dilakukan di lingkungan kampus. EM telah diberhentikan dari tugas Tridharma Perguruan Tinggi sejak pertengahan 2024 berdasarkan hasil pemeriksaan Komite Pemeriksa bentukan Satgas PPKS UGM.
Hingga kini, pihak kampus belum mengungkap jumlah dan identitas korban, namun menyebut telah meminta keterangan dari 13 orang. EM juga tengah menghadapi ancaman sanksi pidana berat.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.