JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk cermat dalam merespons penolakan pengesahan revisi Undang-Undang TNI (UU TNI).
Menurut dia, Prabowo harus mengevaluasi proses revisi UU TNI bila ditemukan celah yang berpotensi bertentangan dengan semangat reformasi. Kemudian, mendekatkan diri kepada rakyat dengan menunjukkan kepemimpinan yang lebih membumi.
"Jangan hanya sibuk dalam rapat dan euforia kepemimpinan, tetapi juga harus turun langsung merasakan aspirasi rakyat," kata Pieter dalam keterangannya, Senin (24/3/2025).
Dia mengingatkan, Presiden Prabowo harus berhati-hati dalam membaca situasi agar tidak terjebak dalam dinamika politik yang bisa mengancam stabilitas pemerintahannya.
Ia menduga ada gerakan politik tersembunyi yang berpotensi melemahkan legitimasi kekuasaan Prabowo.
Baca Juga: [FULL] DPR 1 Suara Sahkan UU TNI di Tengah Penolakan, Mahasiswa UI: Ini yang Jadi Kejanggalan
Menurutnya, sejarah mencatat, Indonesia kerap berada dalam dilema antara kepentingan kekuasaan dan semangat reformasi.
"Salah satu isu yang paling mengundang kegelisahan publik adalah perluasan cakupan jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit TNI aktif. Dari sebelumnya hanya 10 institusi, kini diusulkan menjadi 15," katanya.
Ia juga menyoroti tambahan lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang dinilainya menimbulkan pertanyaan apakah masih sesuai dengan semangat reformasi.
Sejak reformasi 1998, kata Pieter, negara telah sepakat bahwa TNI harus kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan negara.
Reformasi TNI tegas menolak keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Namun, revisi UU TNI justru memberi ruang bagi TNI untuk mengisi posisi strategis di kementerian dan lembaga sipil.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.