JAKARTA, KOMPAS TV – Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Mudiyati Rahmatunnisa menyoroti meningkatnya jumlah calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024.
Menurutnya, fenomena ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam sistem demokrasi Indonesia.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI, Rabu (5/3/2025), Mudiyati menyebut terdapat 37 pasangan calon tunggal yang akan berlaga di Pilkada 2024.
Baca Juga: Bawaslu Minta Dukungan Anggaran Pemerintah Pusat untuk Awasi PSU Pilkada 2024 di 24 Daerah
"Fenomena ini mengindikasikan kegagalan partai politik dalam mengusung kadernya. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik agar lebih aktif dalam kaderisasi," ujar Mudiyati, Rabu.
Mudiyati menilai meningkatnya jumlah calon tunggal menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. Sebab, pesta demokrasi itu seharusnya menjadi ajang kompetisi yang memberikan pilihan bagi rakyat, bukan sekadar memilih antara calon tunggal atau kotak kosong.
"Esensi dari kompetisi politik menjadi hilang. Masyarakat hanya diberi pilihan ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ melalui kotak kosong. Ini adalah sisi gelap demokrasi, meskipun secara hukum tetap sah," katanya.
Selain itu, calon tunggal juga berdampak pada berkurangnya akuntabilitas pemerintah daerah. Tanpa adanya pesaing yang kuat, calon tunggal tidak memiliki insentif untuk menawarkan program yang lebih baik kepada masyarakat.
"Minimnya persaingan berimplikasi pada rendahnya akuntabilitas. Tanpa lawan yang kompetitif, calon tunggal tidak terdorong untuk menghadirkan program-program inovatif," katanya.
Mudiyati menambahkan, maraknya calon tunggal berpotensi memperkuat politik transaksional. Banyak partai politik lebih memilih mendukung calon kuat daripada mengusung kadernya sendiri, yang akhirnya dapat merugikan demokrasi.
"Partai politik lebih memilih bergabung dengan calon yang kuat ketimbang mengusung kadernya sendiri. Ini membuka peluang politik transaksional yang bisa berdampak negatif pada tata kelola pemerintahan," katanya.
Selain itu, ia menyoroti minimnya kontrol oposisi terhadap kepala daerah berpotensi meningkatkan risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Ketika kepala daerah tidak memiliki oposisi yang kuat, risiko korupsi dan penyalahgunaan wewenang bisa meningkat," ujarnya.
Baca Juga: KPU Usulkan PSU Pilkada 2024 Digelar pada Hari Sabtu
Fenomena calon tunggal juga berpotensi menurunkan partisipasi pemilih. Menurut Mudiyati, masyarakat cenderung merasa tidak memiliki pilihan yang berarti dalam pilkada.
"Calon tunggal bisa membuat masyarakat enggan menggunakan hak pilihnya, karena mereka merasa tidak memiliki alternatif pilihan yang kompetitif," katanya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.