JAKARTA, KOMPAS.TV - Revisi Kilat Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) dikritik berbagai pihak. Revisi ini membuat DPR memiliki kewenangan mengevaluasi berkala pejabat negara dan memberikan rekomendasi pemberhentian yang bersifat mengikat.
Dengan disahkannya revisi Tatib tersebut, DPR kini bisa menginisiasi pemberhentian semua pejabat negara yang ditetapkan melaui rapat paripurna DPR, termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan hakim Mahkamah Agung (MA).
Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai ketentuan dalam revisi Tatib DPR tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Feri meminta DPR mempelajari beda antara peraturan DPR dan ketentuan undang-undang.
Baca Juga: Pimpinan Komisi XIII DPR Minta Menteri Pigai Selesaikan Dugaan Pelanggaran HAM di PIK 2
"Kalau dia mengoreksi lembaga peradilan dan bisa memberhentikan hakim, dia melanggar konsep Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka," kata Feri Amsari dikutip Kompas.id, Rabu (5/2/2025).
"Kalau kemudian para hakim bisa dipecat, tentu tidak lagi merdeka dalam penyelenggaraan peradilannya."
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyebut revisi Tatib DPR "merusak negara" karena rawan menggunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan sendiri.
Palguna mengatkaan hasil revisi Tatib DPR menunjukkan bahwa anggota dewan tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat nomra hukum.
"Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab. Cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tatib bisa mengikat keluar? Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum?" kata guru besar hukum tata negara Universitas Udayana ini.
"Masa DPR tak mengerti teori kewenangan. Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan check and balances?
DPR sendiri beralasan kewenangan menginisiasi pemberhentian pejabat negara diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Anggota DPR dari fraksi Gerindra, Bob Hasan bahkan menyebut bukan tidak mungkin aturan baru ini dijadikan undang-undang. Hal ini disebutnya agar kewenangan DPR mengevaluasi lebih kuat dan mengikat.
”Ya, nanti bisa ditingkatkan (menjadi undang-undang). Mulai dari tatib dulu. Kan, bisa saja, dari peraturan tata tertib menjadi undang-undang,” kata Bob Hasan.
Baca Juga: Setara Institute Sebut Revisi Tatib DPR Buka Ruang Transaksi Politik untuk Jadi Pejabat
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.