Kompas TV nasional hukum

Alasan MK Hapus Presidential Threshold 20%: Bertentangan dengan Konstitusi dan Rawan Ada Polarisasi

Kompas.tv - 2 Januari 2025, 17:20 WIB
alasan-mk-hapus-presidential-threshold-20-bertentangan-dengan-konstitusi-dan-rawan-ada-polarisasi
Foto arsip. Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo (tengah) bersama delapan Hakim Konstitusi memimpin sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (6/6/2024). Pihak MK menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% untk pencalonan presiden dan wakil presiden, Kamis (2/1/2025). (Sumber: Antara/Dhemas Reviyanto)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20% untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Majelis hakim konstitusi menilai pembatasan ambang suara untuk mencalonkan presiden/waki presiden seperti diatur pada Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan hak politik rakyat dan konstitusi.

Adalah empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia dkk yang menggugat batas persentase minimal pencalonan presiden/wakil presiden ke MK.

Uji materiil ambang batas pencalonan presiden juga diajukan dalam tiga perkara lain, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra; Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad; serta Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.

Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen di Undang-Undang Pemilu

Ketua MK Suhartoyo menyatakan pembatasan dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pembatasan tersebut dinolai melanggar hak dan kedaulatan rakyat.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan putusan sebagaimana dilansir laman resmi MK, Kamis (2/1/2025).

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim konstitusi menilai, ketentuan batas minimal persentase untuk mengusulkan pasangan calon presiden/wakil presiden menimbulkan kecenderungan agar setiap Pilpres hanya ada dua pasangan calon.

Majelis hakim menyebut masyarakat rawan terjebak polarisasi jika pilpres hanya diikuti dua kubu. Bahkan, pilpres dikhawatirkan hanya akan diikuti calon tunggal jika aturan ambang batas pencalonan dipertahankan.

Mahkamah menilai kecenderungan calon tunggal ditunjukkan dalam fenomena pilkada yang semakin marak diikuti calon tunggal atau kotak kosong.

Mahkamah menilai pembiaran aturan mabang batas berptoensi menghalangi hak rakyat memiliki banyak pilihan dalam memilih secara langsung preiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi Isra.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Ungkap Telah Terima 115 Gugatan Pilkada 2024, Begini Rinciannya


 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x