JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menganggap aparat kepolisian masih memerlukan senjata api kendati marak tindak kekerasan oleh polisi belakangan ini. Politikus Partai Gerindra itu pun menegaskan senjata api polisi tidak akan dilucuti.
Terkait sederet tindak kekerasan polisi yang terjadi belakangan ini, Habiburokhman menyebut pihaknya tidak bisa mengambil kebijakan secara reaktif.
"Kalau mereka harus nggak ada senjata, kira-kira ketika terjadi tindak pidana kekerasan, kejahatan, apa yang dia akan gunakan?" kata Habiburokhman usai rapat dengan jajaran Polri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Baca Juga: Munculnya Istilah "No Viral No Justice", Polisi Baru Bertindak Usai Kasus Viral?
Habiburokhman menyebut ancaman terhadap anggota Polri cukup besar saat bertugas di lapangan. Menurutnya, penggunaan senjata api di Polri diperluas usai aksi teror di Sarinah, Jakarta pada 2016 silam.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menyebut polisi tidak cukup memakai pentungan dalam bertugas. Habiburokhman menegaskan polisi memerlukan senjata api untuk memberantas kejahatan.
"Ada yang (berurusan) dengan terorisme, perampokan dan lain sebagainya bagaimana dia melindungi masyarakat kalau dia sendiri terancam," kata Habiburokhman dikutip Antara.
"Kalau polisi yang tugasnya menjaga ketertiban masyarakat seperti misalnya Pamong Praja, ya betul pakai pentungan."
Lebih lanjut, Habiburokhman menyampaikan bahwa setelah masa reses, Komisi III DPR akan mengundang Itwasum dan Propam Polri untuk mengevaluasi penggunaan senjata api oleh aparat. Menurutnya, penggunaan senjata api oleh polisi tetap harus dikontrol, termasuk terkait pemeriksaan kejiwaan anggota.
"Saya dapat informasi dari teman-teman, banyak Kapolres, banyak Kapolda menyampaikan inisiatif mereka saat ini. Inisiatifnya antara lain mensentralisir senjata api dulu," katanya.
Tindak kekerasan oleh polisi belakangan ini menuai sorotan. Menurut data Amnesty International Indonesia, terdapat 116 kasus kekerasan polisi antara Januari-November 2024.
Bahkan, 29 dari 116 kasus tersebut adalah pembunuhan di luar hukum. Sedangkan 26 kasus dikategorikan penyiksaan serta tindakan kejam.
Salah satu kasus yang menuai sorotan adalah penembakan siswa SMK di Semarang pada November lalu. Dalam kasus ini, polisi sempat berdalih korban sedang tawuran sehingga anggotanya terpaksa menembak.
Akan tetapi, kemudian terungkap bahwa tidak ada tawuran saat kejadian. Polisi yang menembak mati siswa SMK tersebut kemudian dijadikan tersangka.
Baca Juga: Kompolnas Sebut Beri Atensi Kasus Anak Bos Toko Roti Sejak Viral, Dorong Percepatan Penanganan Kasus
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.