JAKARTA, KOMPAS.TV- Mantan pejabat di Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar ditangkap petugas Kejaksaan Agung (Kejagung), Jumat (25/10/2024) dalam kasus dugaan gratifikasi.
Dalam penggeledahan di rumahnya, aparat menemukan uang dan emas dalam jumlah fantastis: Uang tunai yang ditemukan 74.494.427 dollar Singapura, 1.897.362 dollar AS, 71.200 euro, 483.320 dollar Hongkong, serta Rp5,7 miliar. Jika dikonversi ke mata uang Rupiah, total nilai uang yang disita mencapai Rp920 miliar. Jumlah itu belum termasuk 51 kilogram emas batangan yang nilainya diperkirakan sekitar Rp75 miliar.
Dari keterangan Zarof sendiri, seperti disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar, dalam jumpa pers Jumat (25/10), uang sebanyak itu didapat dari pengurusan berbagai perkara di MA saat dirinya masih menjabat pada rentang waktu 2012-2022.
Zarof pernah menjabat Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA.
Baca Juga: Zarof Ricar Punya Uang Tunai Hampir Rp1 Triliun, KPK Sebut Manfaatkan Celah LHKPN
"Diduga keras telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan permufakatan jahat untuk melakukan suap bersama LR (Lisa Rahmat) selaku pengacara Ronald terkait penanganan perkara tindak pidana umum atas nama terdakwa Ronald Tannur,” kata Abdul. Dikutip dari video KompasTV.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kasus Zarof Ricar punya tiga potensi kejahatan dan bisa menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar kotak pandora mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman.
Terlebih, petunjuk guna menindaklanjutinya sudah terang benderang, yakni, penemuan barang bukti berupa uang ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di kediaman Zarof.
"Logika sederhana saja, dibandingkan dengan harta kekayaannya pada Maret tahun 2022 yang hanya berjumlah Rp51,4 miliar, tentu uang ratusan miliar tersebut terbilang janggal dan patut ditelusuri lebih lanjut," demikian rilis ICW yang dikutip dari situs resminya, Rabu (30/10).
Dalam pengamatan ICW, setidaknya ada tiga potensi kejahatan Zarof lainnya yang harus didalami oleh tim penyidik Kejaksaan Agung. Pertama, suap-menyuap. Suap terjadi bilamana uang atau emas yang ditemukan di kediaman Zarof adalah hasil dari pengurusan suatu perkara di MA atau pengadilan lainnya.
Sekalipun Zarof bukan hakim, namun tetap ada kemungkinan bahwa dirinya adalah broker atau perantara suap kepada oknum internal MA. Praktik dengan modus memperdagangkan pengaruh yang serupa dengan kasus tersebut pernah terjadi, yakni, saat Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kejahatan mantan Sekretaris MA, Nurhadi.
Baca Juga: Zarof Ricar dan Kisah Mafia Peradilan yang Tak Pernah Mati
Kedua, gratifikasi. Praktik lancung ini dikonstruksikan dengan membangun asumsi bahwa temuan uang dan bongkahan emas didapatkan Zarof dari sejumlah pihak yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya atau tergolong sulit menelusuri pemberinya.
Jika menggunakan delik gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor), maka beban pembuktian akan berpindah, dari penuntut umum ke Zarof sendiri. Pembuktian terbalik ini akan menyasar terdakwa bila tak bisa menjelaskan secara utuh disertai dengan bukti relevan mengenai harta yang ditemukan penyidik di kediamannya.
Ketiga, pencucian uang. Delik ini mungkin diterapkan tim penyidik bilamana ditemukan bukti bahwa perolehan harta hasil kejahatan disembunyikan oleh Zarof. Lebih jauh lagi, pelaku dalam konteks pencucian uang tidak hanya dapat menjerat Zarof, melainkan juga pihak lain yang turut menerima dana hasil kejahatan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.