JAKARTA, KOMPAS.TV - Menu yang nyaris selalu hadir di setiap meja makan rumah tangga masyarakat Indonesia adalah sambal. Tanpa sambal, terasa hambar. Dan ternyata, sambal yang bahan dasarnya cabai dan rempah itu, memang sudah hadir dalam makanan masyarakat Nusantara sejak ratusan tahun. Cabai, salah satunya, diketahui berasal dari Amerika sejak 5000 tahun lalu.
Penemu Benua Amerika Christopher Columbus termasuk yang memboyong cabai ke kampung halamannya di Eropa. Lalu, para pedagang dan pelaut Portugis dan Spanyol membawanya ke Nusantara seiring perjalanan rempah. Dan di Nusantara, cabai tumbuh subur.
Saat itu, cabai muncul sebagai alternatif lain selain cabya atau cabe jawa (Piper retrofractum) yang sudah lebih dulu digunakan. Sama-sama pemedas, cabya merupakan jenis tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan. Warga saat itu juga kerap menggunakan jahe untuk mendapatkan sensasi pedas.
Dikutip dari Kompas.id, saking terkenal dan pentingnya cabai, kenikmatannya diabadikan dalam naskah-naskah kuno. Di Jawa Barat, misalnya, cabai yang dikenal dengan nama cengek atau cabe, sudah terekam dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian.
Baca Juga: IKN Jadi Ibu Kota Negara, Cicipi Kuliner Khasnya: Sambal Raja
Ditulis pada abad ke-16, disebutkan ada enam rasa dalam kuliner Sunda. Selain manis, masyarakat Sunda mengenal rasa asin, pahit, gurih, asam, dan pedas.
”Sangat dimungkinkan rasa pedas diwakili cabai. Penelitian kami di kampung-kampung adat yang berusia ratusan tahun, mereka terbiasa menggunakan cabai dalam makanannya,” kata penulis seri buku Gastronomi Tradisional Sunda Riadi Darwis di Bandung, Rabu (2/10/2024).
Hingga kini, kata Riadi, penggunaan cabai masih sangat populer. Di Jabar, cabai merah, cabai rawit hingga cabai hijau digunakan untuk membuat banyak variasi sambal. Lewat penelitian dalam 10 tahun terakhir, ia menemukan lebih kurang 100 sambal yang masih hidup di masyarakat.
”Pembuatan sambal di Jabar menggunakan bahan-bahan khas, seperti kemiri, kunir, kencur, oncom, tempe, terasi, tomat, hingga biji mangga,” kata Riadi.
Sementara di Jawa, hal yang sama juga sudah dikenal lama dan tersurat dalam berbagai catatan kuno. Dosen Tata Boga Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Minta Harsana menjelaskan, kata sambal berasal dari bahasa Jawa kuno, yakni sambel. Arti kata itu adalah dihancurkan atau dilumatkan, merujuk pada proses melumatkan cabai untuk membuatnya menjadi sambal.
Baca Juga: Pasutri Disekap di Jogja, Pelaku Paksa Korban Lakukan Hubungan Badan Pakai Sambal dan Balsam
”Secara terminologi, sambal bisa ditemukan di prasasti atau manuskrip Jawa kuno, salah satunya Kidung Sri Tanjung dari abad ke-12 dan ada pula di manuskrip Serat Centhini abad ke-16,” kata Minta, pemerhati gastronomi Yogyakarta.
Bukan sekadar penggugah selera, Minta mengungkapkan, sambal memiliki dimensi filosofis yang berkaitan dengan keseimbangan rasa dalam masakan Jawa.
Sambal menambahkan elemen pedas pada masakan yang bercita rasa asam, manis, asin, atau gurih. Di Pulau Jawa, Minta menyebut, setidaknya ada 119 jenis bumbu berbeda yang bisa diolah menjadi bahan pelengkap sambal.
”Ibaratnya orang hidup menghadapi dunia itu ada yang pahit, pedas, manis, kemudian kalau dicampur menjadi harmoni. Itu prinsip bagi orang Jawa. Maka, hidup seolah kurang lengkap tanpa sambal,” ujarnya.
Nah, tanpa sambal, makanan memang terasa kurang sedap. Sepakat?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.