JAKARTA, KOMPAS.TV- Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, terjadi perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Adapun DPR-GR adalah lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk sebagai peralihan dari DPR periode Demokrasi Terpimpin di zaman Seokarno.
Pada periode 1967-1971, DPR-GR terlibat perdebatan cukup hangat soal perkawinan di tanah air, antara lain soal poligami dan nikah beda agama.
Koran Kompas pada saat itu, menurunkan berita perdebatan tersebut cukup panjang, yang terbit pada 27 Oktober 1968. Berikut beritanya, sesuai ejaan kala itu:
Baca Juga: Puan Maharani Ajak Anggota dan Pimpinan DPR RI Saling Menghargai Perbedaan
Djakarta, Kompas
PEMANDANGAN Umum para anggauta DPR-GR mengenai ketentuan-ketentuan pokok perkawinan dan RUU tentang pokok2 pernikahan umat Islam jang dilakukan dalam sidang pleno DPR-GR hari Djumat dan Sabtu telah berlangsung dengan ramai sekali terutama ketika menjinggung soal2 jang berhubungan dengan poligami.
Dari nama2 pembitjara seperti Ibu Sugiarti SH (PNI), Ibu Gani Surjokusumo (PNI), Sri Rohmani Lasmindar (Karya Pembangunan B), Ibu Dr Iswari (Karya Pembangunan C), Ibu G Bagus Oka (Karya Pem A), Nj Dra Maftuhah Joesuf (Partai Muslimin), X.S.M. Ondang (Parkindo), Salman Safo (Murba), Sahat Naenolang SH (Murba), Y.B. Da Costa SH (Khatolik), AKBP Drs Sjafuruddin (ABRI), Drs Zubaedah Muchtar (PSII), Ibu Mahmudah Mawardi (ND), M.H. Mochtar Rosjadi (NU), Moh Kasim A.S. (IPKI). dan Nj.S. Saijo SH (Karya Pem A).
Dapat ditambahkan bahwa RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan sudah diadjukan sedjak tahun 1958. Selama sepuluh tahun itu, RUU itu telah ramai dibitjarakan untuk kemudian ditarik pula, hingga sampai diadjukan pada sidang ini untuk dibitjarakan lagi.
Poligami ramai dibitjarakan
Nj. Lasmindar dari Fraksi Karja Pembangunan B menjatakan agar dalam hal berpoligami ini ditjantumkan dua sjarat. Sjarat pertama adalah bahwa suami baru dapat menikah lagi dengan wanita lain apabila disetudjui oleh istri jang pertama. Dan jang kedua ialah bahwa istri dapat mengadjukan permohonan tjerai.
Baca Juga: Daftar Lengkap Pimpinan DPR RI Periode 2024-2029: Puan Ketua Didampingi 4 Wakil, Ada Siapa Saja?
Sedang Nj Salyo SH dari Fraski Karya Pembangunan A dalam hal ini berpendapat, bahwa ditjantumkan kata2 “kesetiaan suami kepada istrinja” dalam RUU perkawinan itu menundjukan bahwa kita menudju pada azas monogami. Karena djika suami kawin lagi, maka kata setia itu tak ada artinja lagi.
Pembitjara sebenarnja lebih condong pada dianutnja azas monogami, tetapi karena poligami merupakan suatu azas prinsipil dalam hukum pernikahan Islam, maka pembitjara minta agar diberikan sanksi2 berat terhadap penjelewengan-penjelewengan jang melanggar azas itu untuk mentjegah terjadinja poligami jang sewenang2. Dikatakan, bahwa bukannja poligami itu tidak baik, tetapi akibat2 dari poligami itu dapat membawa penderitaan jg besar bagi fihak istri.
Saling Bertentangan
Sementara itu V.B. da Costa SH dari Fraksi Katolik menjatakan fraksinja tidak dapat menerima kedua RUU tentang Perkawinan jang diadjukan Pemerintah itu. Sebagai dasar kemukakan bahwa kedua RUU tsb, isinja saling bertentangan satu sama lain dan karena RUU tsb, bertentangan UUD dan Pantjasila.
Sumber : Harian Kompas
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.