JAKARTA, KOMPAS.TV - Banyak warga Jakarta mengaku dicatut KTP-nya sebagai syarat pencalonan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana, untuk Pilkada DKI Jakarta. Netizen pun bereaksi di media sosial. Bahkan, mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengakui kedua anaknya pun dicatut untuk tujuan yang sama.
"Tapi KTP dua anak, adik, juga sebagian tim yang bekerja bersama ikut dicatut masuk daftar pendukung calon independen. :)," tulis Anies di X, dilihat Jumat (16/8/2024).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pun menyoroti hal ini sebagai bentuk pelanggaran Undang-undang Perlindungan Data Pribadi. "Dugaan pencatutan KTP warga terjadi dalam pencalonan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam Pilkada DKI Jakarta 2024," begitu bunyi rilis Elsam, Jumat (16/8/2024).
Baca Juga: Kuasa Hukum Korban Pencurian Data Pribadi saat Melamar Kerja Ungkap Alasan Percaya pada Pelaku
Terdapat pelanggaran pelindungan data pribadi yang dilakukan pasangan calon Dharma Pongrekun dan Kun Wardana karena diduga telah melakukan pemrosesan data yang bukan miliknya secara melawan hukum.
Pemrosesan KTP-el yang dilakukan untuk tujuan pencalonan memerlukan dasar hukum pemrosesan berupa persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi (calon pendukung) atas tujuan kandidasi calon tertentu (Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP).
Untuk meminta persetujuan ini, pasangan calon harus menjelaskan tujuan pemrosesan data, jenis data apa saja yang akan diproses, jangka waktu retensi dokumen, rincian informasi yang dikumpulkan. Dugaan pencatutan tersebut mengindikasikan bahwa data diproses tanpa persetujuan apapun dari subjek data.
Bahkan dalam UU PDP, tindakan tersebut merupakan bagian yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana.
Baca Juga: Simak, Berikut Cara Cek NIK KTP Sudah Terdaftar Kartu Prakerja atau Belum
Ketentuan Pasal 65 (1) UU PDP menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak 5 miliar rupiah (Pasal 67 (1) UU PDP). Selain itu, ketentuan Pasal 95 UU Administrasi Kependudukan mengatur larangan tanpa hak mengakses database kependudukan, yang diancam pidana penjara 2 tahun dan denda 25 juta rupiah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.