JAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu kuliner Nusantara yang sering hadir dalam berbagai ungkapan rasa syukur adalah tumpeng. Bondan Winarno, dalam bukunya "100 Makanan Tradisional Indonesia" (Penerbit Kompas) menuliskan bahwa secara mitologis Jawa, tumpeng selalu hadir dalam semua ritual pelintasan (rite de passage).
"Mulai dari kelahiran hingga kematian-termasuk hari lahir, kehamilan, ruwatan, ucapan syukur atas panen yang melimpah, " tulisnya.
Baca Juga: Muhaimin Ungkap Alasan Ubah Haluan usai Ikut Potong Tumpeng di IKN
Sementara lauk pauk sebagai ubarampe atau pelengkap tumpeng harus disesuaikan dengan tujuan pengadaan tumpeng. Misalnya untuk memohon berkah harus dilengkapi tujuh macam lauk, sesuai kata pitulungan yang bermakna memohon pertolongan Allah.
Bentuk tumpeng yang mengerucut juga identik dengan gunungan dalam wayang kulit yang merupakan simbolisasi alam semesta.
Baca Juga: Cak Imin Soroti Pembangunan IKN, Gibran Sebut Tidak Konsisten: Dulu Ikut Potong Tumpeng
Selain penuh simbol, cara penyajiannya pun punya makna tersendiri. Menurut Bondan yang meninggal dunia pada 2017 silam itu, tumpeng lazimnya disajikan di atas tampah atau baki yang dialasi daun pisang dan disantap secara komunal.
Hal ini merujuk pada karakter masyarakat di Nusantara yang suka berkumpul dan bekerjasama. Misalnya di Jawa ada tradisi dahar kembul, di Bali megibung atau bajamba di Ranah Minang juga ngariung di tanah Sunda.
Penyajian dan padu padannya pun bervariasi. Misalnya, tumpeng nasi kuning terdiri dari ayam bumbu rujak (Jawa Timur), plecing kangkung (Lombok). Kemudian ada tumpeng nasi gurih atau uduk. Isinya bebek nyanyat (Bali), trancam (Jawa Tengah).
Ada juga tumpeng nasi merah, isinya ikan pesmol (Jawa Barat), ayam langkueh (Sumatra Barat). Tumpeng nasi merah/putih, isinya brengkes tempoyak patin (Sumatra Selatan), lawar pakis (Bali). Terakhir ada tumpeng nasi pandan, isinya kembung betelok (Bangka), ayam lodho (Jawa Timur).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.