JAKARTA, KOMPAS.TV - Kisah dua orang petani Sengkon dan Karta selalu diulang untuk menggambarkan peradilan yang keliru. Juga aparat yang menangkap dengan penyiksaan sewenang-wenang. Sengkon dan Karta, dua petani miskin di Desa Bojongsari, Bekasi. Semasa hidupnya, Sengkon dan Karta harus bersusah payah bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Namun sebuah petaka yang tidak terpikirkan keduanya terjadi. Pada 1974, keduanya dituding menjadi pelaku perampok dan pembunuhan sepasang suami istri bernama Sulaiman dan Siti Haya. Aparat kepolisian pun langsung menciduk kedua orang bertubuh kurus itu. Untuk mendapatkan pengakuan, keduanya mengalami siksaan fisik yang berat di kantor polisi sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Pengadilan Negeri Bekasi pun mengadili keduanya pada Oktober 1977. Meski keduanya terus membantah selama persidangan, tapi palu hakim dijatuhkan 12 tahun untuk Sengkon dan 7 tahun untuk Karta. Mengutip Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, hakim yang pimpin oleh Djurnetty Soetrisno lebin meyakini cerita BAP Kepolisian ketimbang fakta dan bantahan kedua terdakwa.
"Mereka menerima vonis Pengadilan Negeri Bekasi, meski keduanya terus membantah sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan, namun Hakim Teti dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan," demikian tercantum dalam direktori itu.
Baca Juga: Perampok Toko Jam Tangan Mewah di PIK 2 Sempat Survei Lokasi dan Beli Tali Pengikat via Online
Singkat cerita, Sengkon dan Karta menjadi penghuni LP Cipinang Jakarta. Namun justru dalam penjara itu mulai terkuak masalah sebenarnya. Seorang penghuni LP bernama Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel adalah terdakwa pencurian yang sudah terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara. Pengakuan Gunel membuka tabir kejahatan yang selama ini dituduhkan kepada Sengkon dan Karta.
Gunel tidak sendirian dalam melakukan aksi kejahatnnya. Dia dibantu S mencongkel pintu belakang rumah Sulaeman-Siti Haya saat malam kejadian. Namun, begitu masuk, Gunel dan kawannya dikagetkan dengan Sulaeman-Siti Haya yang ternyata sudah bangun. Tanpa berlama-lama, Gunel segera memukul dan membacok tubuh Sulaeman dan istrinya secara bertubi-tubi.
Dikutip dari Kompas.com, menurut gambaran jaksa saat itu, tubuh Sulaeman dan Siti Haya dipenuhi dengan luka dan memar. Berdasarkan hasil visum, Sulaeman mengalami luka memar di 15 tempat, sedangkan Siti Haya 12 tempat. Salah satu luka serius yang dialami Sulaeman berupa putusnya pergelangan tangan.
Perbuatan para tertuduh, menurut jaksa, telah melanggar Pasal 55 Jo 340 jo 486 KUHP (Pembunuhan Berencana), Pasal 50 jo 338 jo 386 KUHP (pembunuhan dengan sengaja), Pasal 55 jo 486 KUHP (menganiaya berat hingga korban tewas) dan Pasal 55 jo 365 KUHP (pencurian dengan kekerasan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain). Dalam kasus ini, kalung emas dan uang kontan sebesar Rp20.000 diambil oleh para pelaku.
Baca Juga: Daftar Nama 15 Anggota Polrestabes Medan yang Diduga Buron Kasus Perampokan Sistem COD
Tapi kebenaran dan nasib baik saat itu berpihak pada Sengkon dan Karta. Hanya saja, kala itu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa diganggu gugat.
Berkat bantuan pengacara Albert Hasibuan, keduanya mengajukan upaya hukum luar biasa alias Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung yang sebelumnya tidak dikenal dalam peradilan di Tanah Air.
Pada 3 November 1980, Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan schorsing (penundaan) kepada Kepala LP Cipinang agar Sengkon dan Karta dibebaskan terlebih dahulu.
Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung dengan maksud sama. Sengkon dan Karta bebas pada 4 November 1980.
Namun penderitaan selama pemeriksaan dan mendekam di tahanan, membuat tubuh keduanya sakit-sakitan. Sengkon bahkan pada saat itu sedang dirawat di rumah sakit di LP Cipinang. Begitu surat pembebasan keluar, dia segera dibantu oleh para perawat berganti pakaian. Kemudian, pukul 14.10, mereka diajak keluar. Karta pulang menggunakan colt, sedangkan Sengkon diangkut dengan mobil ambulans.
Karta diketahui pulang ke rumah orang tua angkatnya di Kampung Pondok Rangon. Sebab, rumah dan tanahnya sudah habis dijual untuk biaya hidup anak dan istrinya selama ia dipenjara. Bahkan, keluarganya hilang pergi entah ke mana. Sementara itu, Sengkon diantar ke RSU Daerah Bekasi untuk melanjutkan perawatannya. Pada saat itu, Sengkon sedang mengidap penyakit TBC.
Yang lebih tragis, Sengkon tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara. Sementara Karta meninggal akibat menderita sakit TBC parah. Sengkon ketika diwawancarai wartawan mengatakan bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit TBC terus merongrongnya dan tidak ada biaya untuk meneruskan hidup.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.