JAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu pembahasan yang sedang ramai di sisa masa akhir jabatan anggiota DPR periode 2019-2014 adalah akan merevisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Rancangan ini akan mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Artinya, DPA yang pernah hadir di era Orde Lama dan Orde Baru dan kemudian dikubur di era reformasi itu, akan dihidupkan kembali.
Banyak kalangan curiga terhadap revisi ini. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), misalnya, menilai kesepakatan untuk merevisi ini terlalu terburu-buru.
Peneliti Formappi, Lucius Karius, menyebut revisi UU Wantimpres yang menjadi usul DPR, kental unsur pesanan untuk mengakomodir pemerintahan yang baru nanti.
Baca Juga: Pengamat soal Dewan Pertimbangan Agung: Ribet ya, karena DPA itu Struktur Ketatanegaraan Masa Orba
Ia menjelaskan, indikasi itu terlihat ketika parlemen menyepakati untuk mengubah UU Wantimpres ketika mereka akan memasuki masa reses pada Kamis (11/7/2024).
"Jadi jelas unsur pesanan dalam perencanaan dan pembahasan (revisi) undang-undang tersebut sangat jelas terlihat," kata Lucius kepada Kompas.tv, Jumat (12/7/2024).
Apa boleh buat, seluruh fraksi di DPR pun menyetujui RUU tersebut dibawa ke paripurna dan menjadi usul inisiatif DPR. Dewan Pertimbangan Agung besar kemungkinan akan mulai bekerja di era pemerintahan baru Prabowo Subianto.
Namun menarik melihat sejarah keberadaan DPA yang sudah ada sejak era kemerdekaan ini. Ternyata ketua DPA pertama dipegang oleh Margono Djojohadikusumo yang tak bukan kakek dari presiden terpilih Prabowo Subianto. Twitter dari Arsip Nasional pada 2018 mencuitkan, "R.M. Margono Djojohadikoesoemo, lahir di Purwokerto, 16 Mei 1894, pernah menjadi Ketua DPA, Pendiri dan Presiden Direktur @BNI Pertama."
Baca Juga: DPR Buka Suara soal Pembahasan Revisi UU Wantimpres Disebut Buru-Buru dan Pesanan
Menurut catatan sejarah, Margono adalah ketua DPA pada 25 September 1945 atau sebulan setelah proklamasi dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
Dalam buku "Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940)" diterbitkan ulang oleh Fadli Zon Library (2013), ditulis oleh Margono dan diberi kata pengantar oleh Prabowo Subianto, sosok Margono akan tersua di sana. Prabowo menyebutnya Eyang Margono Djojohadikusumo, tepatnya Raden Mas Margono Djojohadikusumo. "Beliau adalah eyang kami, ayahanda dari Bapak kami, Prof.Dr. Soemitro Djojohadikusumo," katanya.
Disebutkan dalam buku tersebut, Margono bukan saja seorang sarjana dengan latar belakang pendidikan yang cukup, melainkan juga seorang pegawai Jawatan Perkreditan Rakyat (kemudian menjadi Jawatan Koperasi) pada pemerintahan kolonial dengan pengalaman lapangan yang panjang.
Prabowo pun mengenang kedekatan dengan sang eyang. "Jika sedang makan bersama, Eyang selalu bercerita tentang keberanian para pemuda Indonesia melawan Belanda," katanya. Dan ada pesan yang disampaikan untuk seluruh keluarga, "jagalah nama baik keluarga kita. Nama keluarga itu tidak ada kaitan dengan kedudukan dalam masyarakat maupun dengan kekayaan harta. Nama baik keluarga hendaklah dikandung dalam hati rakyat."
Margono meninggal dunia di Jakarta 25 Juli 1978.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.