JAKARTA, KOMPAS.TV - Dalam usianya yang ke 497 tahun pada 22 Juni nanti, Jakarta menjelma dari sebuah pelabuhan kecil bernama Sunda Kalapa menjadi megapolitan kelas dunia. Dalam kurun waktu nyaris 500 tahun itu, Jakarta menorehkan banyak peristiwa penting yang tercatat dalam buku sejarah.
Salah satunya peristiwa penyerbuan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645), raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645.
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.
Mengutip laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Sultan Agung I ini dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627, tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin kerajaan Mataram Islam.
Untuk melebarkan sayap kekuasaannya, Sultan Agung berniat menaklukkan Jakarta yang kala itu bernama Batavia, sebagai salah satu pelabuhan penting di Pulau Jawa. Kala itu, penguasa Batavia adalah perusahaan dagang Belanda (VOC) di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen yang mengusainya sejak 1619.
Baca Juga: Jakarta Peringkat Dua Kota dengan Udara Terburuk di Dunia Pagi Ini
Namun keberadaan VOC menjadi penghalang. Situasi menjadi meruncing ketika VOC mengirimkan dutanya untuk meminta izin Sultan Agung mendirikan loji-loji dagang di pantai Utara Mataram. Namun, hal ini ditolak oleh Sultan Agung karena jika diizinkan maka ekonomi di pantai Utara akan dikuasai oleh VOC. Penolakan ini kemudian membuat hubungan keduanya merenggang.
Di sisi lain, melihat kekuatan dan maskapai dagang Belanda membuat Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingannya menghadapi Surabaya dan Kesultanan Banten. Usai berhasil menguasai Surabaya, Banten menjadi sasaran selanjutnya.
Namun, posisi Batavia yang saat itu menjadi penghalang perlu lebih dulu diatasi oleh Mataram.
Pada April 1628, Kyai Rangga, Bupati Tegal, dikirim sebagai duta ke Batavia untuk berunding. Namun, perundingan ini ditolak oleh JP Coen yang menyebabkan pertempuran pertama.
Dikisahkan, pasukan Mataram membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa, dan 12.000 karung beras sebagai logistik.
Pihak Mataram mengatakan bahwa mereka ingin berdagang di Batavia. Namun, pihak Belanda mulai curiga. Tiga hari kemudian, tujuh kapal Mataram kembali muncul, dengan alasan minta surat jalan dari pihak Belanda agar dapat berlayar ke Melaka.
Sore harinya, sekitar 20 kapal Mataram menurunkan pasukannya di depan kastil. Belanda pun terkejut dan bergegas masuk ke benteng kecil. Pasukan Mataram kemudian dihujani tembakan dari kastil.
Pada 25 Agustus 1628, 27 kapal Mataram lagi masuk teluk, mereka telah menyatakan dengan jelas keinginannya untuk menyerang Belanda. Esok harinya, terhitung 1.000 prajurit Mataram memasang kuda-kuda di depan Batavia. Tanggal 27 Agustus pasukan Mataram menyerang benteng kecil di sebelah tenggara kota. Sempat unggul dari Belanda, pasukan Mataram mulai mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.
Baca Juga: Cara Dapat Tiket Masuk Ancol Gratis dalam Rangka HUT Jakarta 2024, Ini Jadwal dan Ketentuannya
Setahun kemudian, Mei 1629, Sultan Agung kembali menyerang untuk kedua kalinya. Total prajurit yang dibawa adalah 14.000 orang. Kali ini, pasukan Mataram sudah berantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang dan Cirebon.
Namun, VOC berhasil menemukan mereka dan memusnahkan semuanya. Karena kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera, kekuatan pasukan Mataram melemah.
Pasukan Mataram kocar-kacir. Namun, meski gagal pasukan Mataram berhasil mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera di Batavia. Sang Gubernur Jenderal pun menjadi korban karena wabah tersebut.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.