JAKARTA, KOMPAS.TV – Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti menilai putusan Mahkamah Agung (MA) tentang perubahan penghitungan syarat usia calon kepala daerah memiliki pola yang sama dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batasan usia capres-cawapres.
Penilaian Bivitri tersebut disampaikan dalam dialog Kompas Petang di KompasTV, Kamis (30/5/2024). Menurutnya sangat wajar jika orang membaca pola tersebut.
“Kalau menurut saya sebenarnya sangat wajar kalau banyak orang yang sudah membaca pola. Jadi bukan soal praduga,” ucapnya.
“Bahkan sudah ada joke, saya barusan lihat di WhatsApp, 'MK itu memilih kakak kalau MA memilih adik', karena ini pola.”
Baca Juga: KPU Belum Terima Salinan Putusan MA soal Perubahan Penghitungan Batas Usia Calon Kepala Daerah
Bivitri kemudian mengingatkan tentang putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden.
“Jadi waktu itu, kita ingat pada saat putusan 90 belum keluar, namanya Gibran waktu itu sudah mulai diusung, tapi masih ada yang mengganjal, kemudian disediakan, dibuka putusan (MK Nomor) 90. Pola ya, saya bicara pola, bukan prasangka.”
“Nah yang terjadi sekarang, ganjalannya juga, tapi bedanya ini sangat tipis, beda hitungan bulan, jadi tidak perlu diubahnya sampai dengan tambahan ‘Atau, sedang, dan seterusnya’,” lanjutnya.
Bivitri juga menyebut bahwa olok-olok publik mengenai hal itu tidak bisa dicegah krena memang memiliki pola yang sama.
“Jad buat saya itu yang dibaca oleh publik, bahkan sudah dijadikan olk-olok. Jadi tidak bisa dicegah begitu ya pandangan-pandangan seperti ini karena polanya sama.”
Bivitri menyarankan agar publik membaca secara detail isi putusan MA tersebut. Ia mengaku sudah membaca detail putusannya, serta mencatat nomor-nomor halamannya.
Baca Juga: Menko Hadi Ingatkan Kembali di Pilkada 2024 ASN, TNI-Polri Harus Netral dan Bekerja di Koridor Hukum
“Kita akan bisa melihat bahwa pertimbangan hukum hakim sebenarnya sangat-sangat dangkal. Mulai dari mengacu pada UUD 1945 yang seharusnya tidak dilakukan oleh Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung itu menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, bukan terhadap UUD 1945.”
Putusan itu, lanjut Bivitri, juga mengasumsikan adanya original intens dari UU 10 tahun 2016 yang mengatur pilkada.
“Itu katanya memang ada original intens soal mengakomodasi anak muda, nah sementara itu tidak pernah dijelaskan. Jadi ada kesimpulan yang terlalu terburu-buru.”
“Jadi dari dangkalnya penalaran hukum itu kita sudah bisa, boleh, sangat boleh mencurigai sebenarnya ada sesuatu yang bisa kita gali lagi dari keluarnya putusan seperti itu,” imbuh Bivitri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.