JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Soekarno banyak memberi inspirasi kepada para politikus dan partai politik hingga saat ini. Pemikiran dan pidatonya sering dikutip untuk memberi semangat atau penegasan terhadap ajaran-ajarannya. Salah satu yang relevan sampai saat ini adalah pidatonya saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 20 Mei 1964.
Soekarno menyinggung soal upaya adu domba dan pemecahbelahan sebagai senjata yang paling ampuh untuk menguasai suatu bangsa. Dia membandingkan kondisi bangsa Indonesia saat itu dengan zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Penduduk Nusantara yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia, kata Soekarno, merasa menjadi satu bangsa yang tidak terbagi-bagi.
Baca Juga: Budiman Sudjatmiko: Pernyataan Prabowo Ada Partai Klaim Memiliki Soekarno Bukan Mendiskreditkan PDIP
Bangsa Indonesia, dari pulau yang barat sampai ke pulau yang paling timur adalah satu negara, satu bangsa yang tidak bisa dibagi-bagi.
"Tetapi kemudian imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatra. Orang Sumatra dibikin benci kepada orang Jawa. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sulawesi. Orang Sulawesi dibikin benci sama orang Jawa... Dan ini salah satu senjata yang immateriil," tutur Soekarno seperti dikutip dari kumpulan naskah pidato berjudul Bung Karno: Setialah Kepada Sumbermu.
Setahun sebelumnya, pada pidato 20 Mei 1963 di alun-alun Kota Bandung, Jawa Barat, Soekarno juga menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan yang merupakan satu-satunya cara agar bangsa Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan oleh bangsa lain.
Dia mengumpamakan bangsa Indonesia sebagai sapu lidi, yang terdiri dari beratus-ratus lidi. Jika tidak diikat, maka lidi tersebut akan tercerai berai, tidak berguna dan mudah dipatahkan.
"Tetapi jikalau lidi-lidi itu digabungkan, diikat menjadi sapu, mana ada manusia bisa mematahkan sapu lidi yang sudah terikat, tidak ada saudara-saudara," kata Soekarno. "Ingat kita kepada pepatah orang tua, rukun agawe santosa, artinya jikalau kita bersatu, jikalau kita rukun, kita menjadi kuat!" tuturnya.
Pada bagian lain pidatonya itu, Soekarno menegaskan bahwa seluruh organisasi dan partai politik yang ada harus berlandaskan pada persatuan dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan organisasi.
"Ini bukan berarti saya tak mengerti pertumbuhan partai dan organisasi dalam alam demokrasi. Ini pun tidak berarti saya meremehkan partai dan organisasi yang sekarang ada, sama sekali tidak," katanya. "Ini hanya berarti saya mengatakan bahwa bagi Negara haruslah primer. Tidak mungkin partai dan organisasi kita bergerak seperti sekarang ini kalau tidak ada Negara Republik kita!" tegasnya.
Baca Juga: Peringati Persahabatan Indonesia-Korea Utara: Memori Soekarno Hadiahi Kim Il Sung Bunga Anggrek
Soekarno tidak menampik demokrasi telah memberikan kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Akan tetapi, setiap orang pun harus bisa membatasi diri. Baginya, demokrasi merupakan satu dasar dan jalan bagi sebuah bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Dengan demikian, kata Soekarno, demokrasi juga telah menciptakan ikatan dalam melaksanakan pembangunan nasional.
"Jadi saudara-saudara kesimpulan kita ialah marilah kita benar-benar suci bersatu, marilah kita sama-sama mengutamakan Negara, marilah kita bekerja konstruktif dalam arti benar-benar melaksanakan pembangunan nasional," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.