JAKARTA, KOMPAS.TV – Prof Marsudi Wahyu Kisworo, ahli yang dihadirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (3/4/2024), menjelaskan 3 penyebab terjadinya perbedaan angka hasil penghitungan suara di formulir C1 dan aplikasi Sirekap.
Menurutnya, sejak tahun 2004, sistem penghitungan suara digital selalu dipermasalahkan. Padahal penghitungan suara resmi KPU menggunakan penghitungan suara berjenjang.
“Seandainya Sirekap itu tidak ada pun sebetulnya tidak ada pengaruhnya terhadap penghitungan suara,” jelas Marsudi.
“Sirekap itu sarana untuk publikasi hasil penghitungan suara dan proses penghitungan suara, jadi publikasi untuk kedua ini, tapi juga alat bantu untuk rekapitulasi.”
Baca Juga: Diminta jadi Saksi Sengketa Pilpres, Kapolri: Kami Taat Konstitusi, Kalau Diundang MK Kita Hadir
Ia menjelaskan, Sirekap terdiri dari dua aplikasi yakni Sirekap Mobile yang terinstal di ponsel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Sirekap Web.
Data yang diinput oleh petugas melalui Sirekap Mobile, kata dia, kemudian masuk ke Sirekap Web, lalu direkapitulasi dan ditampilkan di web.
“Artinya apa? Jadi sebetulnya flow-nya adalah data itu masuk dari Sirekap Mobile, kemudian Sirekap Web itu tugasnya lebih kepada untuk melakukan konsolidasi rekapitulasi dan melakukan virtualisasi atau mengekspor ke web,” terang Marsudi.
“Problem pertama dari Sirekap Mobile, dia mengambil data dari form C1 hasil yang isinya dibuat dengan tulisan tangan, menggunakan teknologi yang namanya optical character recognition atau OCR,” tuturnya.
Tulisan yang ada pada form C1, kata dia, dipindai (scan), kemudian difoto (capture), lalu diubah menjadi angka.
Dalam proses inilah, menurut Marsudi, problem pertama muncul karena tulisan yang ada di form C1 berbentuk tulisan tangan.
Baca Juga: Kala Hotman Tak Terima Presiden Jokowi Disebut Pencuri Bansos menurut Pendapat Ahli Romo Magnis
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.