JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua nonaktif PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk mengaku pihaknya sempat ditegur Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI soal pengubahan 1.402 Data Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Umar menyebut Ketua KPU Hasyim Asy'ari bahkan memerintahkannya untuk menghentikan pengiriman surat suara melalui pos ke 1.402 pemilih itu.
Hal tersebut disampaikannya dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
“Sudah dikirimkan melalui Pos?” tanya Jaksa Penuntut Umum atau JPU kepada Umar.
“Tapi tidak keseluruhan, karena setelah kita ketahuan itu, sekitar tanggal 17 bulan Januari, saya menghadap Ketua KPU dan kemudian saya melaksanakan apa yang diarahkan, diperintahkan oleh Ketua KPU untuk menyetop, mencari, memverifikasi, barangkali ada yang belum terkirim,” jawab Umar.
Menurut penjelasan Umar, karena adanya teguran KPU, pihaknya baru mengirimkan sebanyak 1.305 surat suara, sementara 97 surat suara lainnya tak terkirim.
“Akhirnya, didapati sekitar 97 surat suara yang memang belum terkirim. Akhirnya yang terkirim 1.305,” ucapnya, dikutip dari Antara.
Menurut pengakuannya, 1.402 DPT Pos diubah dan dikirimkan kepada calon pemilih tanpa sepengetahuan KPU.
Dalam kesempatan itu, Umar juga mengakui bahwa melakukan replacement atau pengubahan pada 1.402 DPT Pemilu 2024 tersebut dilakukan tanpa rapat pleno.
Baca Juga: Ketua nonaktif PPLN Kuala Lumpur Akui Ubah 1.402 DPT Tanpa Rapat Pleno, Ungkap Sosok Inisiator
Diberitakan Kompas.tv sebelumnya, Selain Umar Faruk, terdapat enam anggota PPLN Lainnya yang menjadi terdakwa, mereka antara lain Tita Octavia Cahya Rahayu berstatus mahasiswa dan Dicky Saputra.
Kemudian, dua orang dosen bernama Aprijon dan Puji Sumarsono, A Klalil seorang wiraswasta yang bertugas sebagai Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu, serta seorang dosen bernama Masduki Khamdan Muchamad yang sempat masuk DPO Bareskrim Polri.
Jaksa mengatakan para terdakwa memasukkan data yang tidak benar dan tidak valid karena tidak sesuai hasil coklit ke dalam DPS, menjadi DPS Hasil Perbaikan (DPSHP), dan kemudian ditetapkan menjadi DPT.
Para terdakwa juga disebut memindahkan daftar pemilih metode Tempat Pemungutan Suara (TPS) ke metode Kotak Suara Keliling (KSK) dan Pos dalam kondisi data dan alamat pemilih yang tidak jelas atau tidak lengkap.
Sementara itu, dalam dakwaan kedua, para terdakwa didakwa dengan sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih setelah DPT ditetapkan.
Atas perbuatannya para terdakwa didakwa melanggar Pasal 544 atau Pasal 545 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Juga: Anggota KPU Betty Jadi Saksi Sidang 7 Eks PPLN Kuala Lumpur Terkait Pemalsuan Data
Sumber : Kompas TV/Antara.
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.