JAKARTA, KOMPAS.TV - Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut presiden boleh memihak dan berkampanye.
Perludem menilai pernyataan yang disampaikan Jokowi tersebut sangat dangkal.
"Berpotensi akan menjadi pembenar bagi Presiden sendiri, Menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024," Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1/2024).
Terlebih, kata dia, Jokowi mempunyai konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024.
"Sebab anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, mendampingi Prabowo Subianto," tegasnya.
Ia mengingatkan, netralitas aparat negara merupakan salah satu kunci Pemilu yang adil.
"Padahal, netralitas aparatur negara adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis," sambungnya.
Perludem pun menilai Jokowi dianggap hanya membaca Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara sepotong-sepotong, yakni hanya pada pasal 281, 299, dan 300, tanpa melihat konstruksi hukum kepemiluan secara utuh.
Adapun pasal tersebut mengatur dalam kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota asal tidak menggunakan failitas dalam jabatannya dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Baca Juga: Di Depan Prabowo, Jokowi Berulang kali Bilang Presiden Boleh Berpihak dan Kampanye di Pilpres 2024
Padahal, lanjut dia, pada Pasal 282 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.
"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara," jelasnya.
"Sehingga ada batasan bagi Presiden dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye," ucapnya.
Ia pun mengatakan, dalam konteks tersebut, jika ada tindakan presiden, apapun itu bentuknya, apabila dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran pemilu.
"Termasuk juga tindakan Menteri yang melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu adalah pelanggaran kampanye pemilu. Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam cuti di luar tanggungan negara," tegasnya.
Kemudian dalam Pasal 283 juga terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara yang serta aparatur sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keperbihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye.
Ketentuan itu berbuyi “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”.
"Ketentun ini jelas ingin memastikan, pejabat negara, apalagi selevel presiden dan Menteri untuk tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan pada peserta pemilu tertentu," jelasnya.
Baca Juga: Presiden Menteri Memihak: Anies Sebut Jokowi Berubah-ubah, Muhaimin Sebut Jangan, Ganjar Tak Masalah
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.