JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY menyinggung etika politik yang menjadi rujukan Presiden Pertama RI Soekarno saat memberikan pernyataan usai memimpin rapat pleno pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat di kantor DPP Partai Demokrat di Jalan Proklamasi, Jakarta, Senin (4/9/2023).
AHY menceritakan pengalamannya saat menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang selalu diajarkan untuk memegang teguh etika.
"Pengalaman TNI mengajarkan kepada kami untuk senantiasa memegang teguh nilai dan etika keperwiraan," katanya.
"Hal ini adalah modal utama bagi seorang prajurit dalam mengemban tugas apapun," imbuhnya.
Ia mengatakan, meski dalam kondisi perang, setiap prajurit TNI tetap wajib mematuhi etika dan aturan. Menurut dia, hal itu juga berlaku dalam bidang politik.
"Dalam kondisi perang saja, kami diwajibkan ketika itu untuk mematuhi etika dan aturan, sehingga perang bukan hanya soal kill or to be killed, bukan hanya seolah hanya tentang menang atau kalah, tetapi juga soal cara untuk bisa memenangkan peperangan tersebut," tegasnya.
Baca Juga: Ajak Kader Demokrat Move On, AHY: Semoga Kita Bisa Memaafkan, Walaupun Tidak Begitu Saja Melupakan
"Begitu juga dalam berpolitik, saya rasa semua rakyat Indonesia yang kita perjuangkan ini sepakat untuk berpolitik secara beretika. Artinya, kita mendambakan praktik-praktik yang baik, yang tidak menghalalkan segala cara," imbuhnya.
Partai Demokrat, menurut AHY, tidak ingin menghalalkan segala cara demi kemenangan.
"Cara tidak boleh menikam tujuan. Cara juga harus dijiwai oleh tujuan, begitu juga sebaliknya," tegasnya.
Putra sulung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu pun menegaskan, pemikiran tersebut merupakan gagasan Mahatma Gandhi yang menjadi rujukan pemikiran Presiden Pertama RI Soekarno.
"Ini adalah pandangan pemimpin besar Mahatma Gandhi yang juga menjadi rujukan utama dari pikiran-pikiran Presiden Soekarno," ujarnya.
"Sejak awal kami memiliki harapan besar, terhadap hadirnya sebuah perubahan dan perbaikan, bukan perubahan biasa tetapi perubahan besar dan fundamental yang berlandaskan pada nilai-nilai dan etika," terangnya.
Harapan tersebut, menurut AHY, membutuhkan kerja keras, kerja sama, serta komitmen dari berbagai pihak.
"Namun kenyataannya hal itu tidak mudah untuk diwujudkan, komitmen menjadi barang yang langka. Kata maaf dijadikan obat yang murah untuk pengingkaran atas sebuah komitmen," tuturnya.
Ia menegaskan, hal itu perlu dicegah agar tidak menjadi kebiasaan yang membentuk karakter bangsa.
"Ini tentu berbahaya jika dibiarkan bisa menjadi budaya, menjadi sebuah pembenaran, dan lambat laun bisa membentuk karakter bangsa yang tidak bertanggung jawab," urainya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.