JAKARTA, KOMPAS TV - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan kenaikan kasus penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di DKI Jakarta yang meningkat hingga 3 sampai 4 kali lipat akibat masalah polusi udara.
Ia menjelaskan, kenaikan itu terhitung dari Januari sampai Juli 2023.
"Mulai Januari 2023 tuh yang di atas relasinya dengan kasus ISPA di DKI, jadi kasus infeksi saluran pernapasan itu di DKI yang tadinya 50 ribuan, (menunjukan peningkatan) naik dia, naiknya jadi sempet 200 ribu, 150 ribu, jadi tiga sampai empat kali (lipat)," kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Baca Juga: Menkes: Tren Polusi Udara di Jabodetabek Melebihi Batas Aman WHO
Menurut dia, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono harus segera mencari solusi terbaik dari masalah buruknya kualitas udara tersebut.
"Jadi mudah-mudahan Pak Heru sebagai Plt Gubernur DKI itu bisa menangani ini, karena ini jadi tugas berat juga untuk Gubernur DKI," katanya.
Selain itu, lanjut Budi, tren polusi udara yang terjadi di wilayah Jabodetabek selalu melebihi batas aman yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
Adapun, WHO memberikan pedoman untuk melakukan pemantauan terhadap lima komponen di udara.
Lima komponen tersebut terdiri dari tiga komponen bersifat gas, yaitu nitrogen, karbon, dan sulfur, serta dua komponen partikulat atau particulate matter (PM) yaitu PM10 dan PM2,5.
Melansir laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), PM10 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron (mikrometer). Sedang PM2,5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2,5 mikrometer.
Budi menjelaskan, berdasarkan data pemantauan kualitas udara di Jabodetabek 2021-2023 saja misalnya, temuan PM 2,5 di wilayah itu cukup tinggi dan fluktuatif.
Baca Juga: Kemenkes Ungkap 6 Penyakit yang Berkaitan dengan Polusi Udara, Kasus ISPA Meningkat
"Dalam dua tahun terakhir, di Jabodetabek, tren polusi udara melebihi batas aman WHO. Jadi kita tidak pernah memenuhi standarnya WHO," kata Budi.
"PM2,5 ini biasa diukur di semua negara yang polusinya tinggi," sambungnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.