JAKARTA, KOMPAS.TV – Polusi yang tengah meresahkan Indonesia saat ini, kerap memicu perdebatan. Namun untuk menangani masalah ini, narasi yang disusun pemerintah mengenai polusi dinilai minim dukungan data ilmiah.
Alih-alih polusi berkurang, pembuat kebijakan yang berbicara tanpa data justru membuat kabur penyebab dari polusi ini.
Chair Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH)- Indonesia Node, Ika Idris, mengatakan dalam pantauan pemberitaan media selama sebulan terakhir, aktor-aktor yang meramaikan diskusi publik justru datang dari pemerintah, perusahaan-perusahaan BUMN di bidang energi, dan perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan. Kalaupun ada di luar itu, yakni dari WHO, yang menyampaikan mengenai nilai panduan kualitas udara.
“Karena pemerintah blunder dengan penyebab polusi udara, maka langkah dalam mengatasinya pun beda-beda satu sama lain. Pemerintah terkesan ingin solusi jangka pendek saja, bukan solusi jangka panjang yang sampai ke akar masalahnya. Pemerintah juga tidak transparan menyampaikan sebenarnya sumbernya polusinya dari mana saja, misal berapa persen kontribusi dari kendaraan atau berapa dari PLTU,” kata Ika di Jakarta, Selasa (29/8/2023) dalam pernyataan tertulisnya yang dikirimkan ke media.
Baca Juga: Rata-Rata Kasus ISPA Sentuh Angka 200.000 Per Bulan, Ini Kata Spesialis Paru soal Polusi Jakarta!
Ika melanjutkan, saat ini tidak ada ilmuwan yang dijadikan rujukan. Sebenarnya praktik-praktik seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Ketika pandemic Covid-19 baru memasuki Indonesia, hal semacam ini juga terjadi, di mana suara ilmuwan tidak didengar dan tidak dianggap penting.
Untuk permasalahan polusi yang kompleks, menurutnya kepakaran ilmuwan dari berbagai bidang harus dipertimbangkan.
“Dalam pantauan kami dengan Factiva-platform pemantauan berita milik Dow Jones, suara ilmuan masih sebatas diwakili oleh dokter atau dokter spesialis paru. Padahal masalah ini sudah mencakup isu kesehatan penduduk, sehingga perlu melibatkan ilmuwan dari berbagai bidang di antaranya teknik lingkungan, kesehatan publik, perubahan perilaku, transportasi, modifikasi cuaca, dan energi bersih,” ujar Ika.
Pada masalah genting seperti ini, pemerintah penting untuk mendengarkan ilmuwan dan utamanya data-data ilmiah.
Laporan Global Alliance on Health and Pollution tahun 2017 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara di urutan nomor empat teratas dengan kasus meninggal prematur yang disebabkan polusi udara.
Jumlahnya mencapai 123 ribu jiwa di tahun tersebut. Sementara, menurut data yang sama, jumlah meninggal prematur karena semua jenis polusi mencapai 232 ribu jiwa di tahun 2019.
Baca Juga: IQ Air Catat Jakarta Masuk 'TOP 5' Kota Besar dengan Polusi Udara Paling Tinggi!
“Di tengah krisis udara bersih, jika pemerintah tidak tahu langkah apa yang mesti diambil, mestinya mereka mengundang ilmuwan dan mendengarkan masukan mereka,” tegas Ika.
Ia mencontohkan kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta hampir tidak pernah mengacu pada usulan ilmuwan, tidak jelas basis pengambilan kebijakannya, dan tidak konsisten.
“Jika kita amati, kebijakan menutup pabrik arang, bekerja dari rumah bagi Aparatur Sipil Negara Pemprov DKI, hingga uji coba penyemperotan mist generator dari atas gedung, hampir tidak pernah dijelaskan landasan ilmiah pengambilan keputusannya,” jelas Ika.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.