DEPOK, KOMPAS.TV - Bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, memaparkan perbedaan sistem demokratik dan nondemokratik saat berbicara dalam Kuliah Kebangsaan Fisip UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (29/8/2023).
Anies mengatakan demokrasi bukan hanya soal pemilu. Tapi juga mengenai nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat di mana aspirasi bisa diproses melalui proses politik tanpa ada rasa takut dan tekanan.
Aspirasi tersebut, kata dia, kemudian bisa menjadi keputusan-keputusan yang dilaksanakan dalam kedamaian.
"Ada dua sistem di dunia ini, demokratik dan nondemokratik. Yang nondemokratik pilarnya adalah fear, rasa takut. Yang demokratik, pilarnya adalah trust," ungkapnya, seperti dipantau dari Breaking News KOMPAS TV.
Sebuah demokrasi, kata mantan gubernur DKI Jakarta itu, mengandalkan keterbukaan, kebebasan, dan disokong pilar kepercayaan atau trust.
Adapun nondemokrasi, sambungnya, mengandalkan rasa takut atau fear.
Baca Juga: Berbicara di UI, Anies Singgung Konoha dan Wakanda: Ini Menunjukkan Ada Self-Censorship
"Karena itu, perhatikan, rezim-rezim otoriter, pasti menggunakan rasa takut untuk menjalankan kekuasaannya. Begitu rasa takut hilang, rezimnya tumbang."
Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu lalu mencontohkan apa yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah yang beberapa tahun lalu dilanda gelombang demonstrasi antipemerintah atau yang disebut Arab Spring.
Ia juga menyebut apa yang terjadi di Iran, Filipina, dan Afrika Utara, termasuk di Indonesia pada 1997-1998 silam.
"Ketika transisi di 97-98, itu karena fear itu hilang. Semua bergerak. Begitu fear hilang, maka rezim tumbang," ungkapnya.
Anies mengatakan adanya rasa takut dalam berbicara dalam sebuah demokrasi, menunjukkan tanda-tanda yang tidak sehat.
"Karena itu harus dikembalikan. Kebebasan berbicara harus menjadi prioritas yang harus kita bereskan di dalam tahun 2024 ke depan."
Baca Juga: Anies Baswedan Soroti UU ITE saat Beri Kuliah Kebangsaan di Universitas Indonesia
Dia mengatakan jika ada pasal-pasal dalam undang-undang yang mengganggu kebebasan berekspresi, harus direvisi.
"Kalau ada pasal-pasal dalam undang-undang yang mengganggu kebebasan berekspresi sudah seharusnya itu direvisi dan harus bisa melindungi kebebasan berekspresi. Bukan malah menghalangi kebebasan berekspresi," tuturnya.
Dia melanjutnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE seharusnya digunakan untuk melindungi data dan informasi, bukan malah membungkam ekspresi.
"Undang-Undang ITE itu bermasalah bukan pada melindungi data. Itu yang diperlukan. Melindungi data, melindungi informasi. Tapi ketika pasal-pasal karet itu dipakai untuk meredam ekspresi kebebasan, itu bermasalah."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.