WONOSARI, KOMPAS.TV - Kasus antraks yang menggegerkan Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta beberapa pekan belakangan diduga dipengaruhi tradisi brandu. Tradisi brandu adalah gotong royong yang dilakukan warga untuk membantu pemilik ternak yang sakit atau mati.
Dalam tradisi brandu, warga mengumpulkan iuran untuk pemilik ternak yang sakit atau mati. Daging ternak yang sakit atau mati pun lalu dibagikan kepada warga yang mengumpulkan iuran.
“Itu (tradisi brandu) adalah salah satu yang membikin kita enggak berhenti-berhenti ada antraks,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul Retno Widyastuti dikutip Kompas.id, Rabu (5/7/2023).
Baca Juga: Sanggahan Dinas Kesehatan Gunungkidul tentang Jumlah Korban Meninggal Positif Antraks
Tradisi brandu disinyalir membuat Kabupaten Gunungkidul menjadi daerah endemi antraks. Kasus antraks dideteksi di daerah ini pada 2019 hingga 2023.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin menyebut populasi ternak rawan antraks di Gunungkidul mencapai 357.351 ekor hewan ternak. Rinciannya 143.793 ekor sapi, 202.555 ekor kambing, dan 11 ribu ekor domba.
"Ketika daerah endemi antraks tidak dilakukan penanganan secara baik. Baik di tanah, lingkungan dan kesadaran masyarakat maka kasus antraks ini akan terus berlanjut," kata Nuryani dikutip Kompas TV, Jumat (7/7).
Kasus antraks terkini di Gunungkidul dideteksi setelah seorang warga Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu meninggal dunia di RS Sardjito pada 4 Juni lalu. Warga itu dideteksi positif antraks.
Pihak terkait pun segera melakukan tes serologi kepada 143 warga untuk mendeteksi penularan antraks. Hasilnya, 87 orang dinyatakan positif, tetapi sebagian besar tidak menunjukkan gejala.
Kepala Desa Candirejo Renik David Warisman mengaku bahwa ada warga setempat yang melakukan brandu sebelum antraks menyebar. Menurutnya, tradisi ini tetap dilakukan sebagai wujud simpati masyarakat terhadap tetangga yang kehilangan ternak.
“Kalau para petani itu tabungannya hewan ternak itu. Sehingga kalau ternaknya mati itu musibah. Jadi, untuk meringankan beban dari pemilik ternak yang mengalami musibah, caranya seperti itu,” kata David.
Sebelumnya, Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto mengaku pihaknya telah berulangkali melakukan sosialisasi agar warga tidak mengonsumsi daging ternak yang sakit atau mati. Namun, ia mengakui masih ada warga yang menerapkan brandu karena merasa sayang jika ternak yang sakit atau mati mesti dimusnahkan.
“Kalau sosialisasi saya pikir sudah terus-menerus. Kawan-kawan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah mengedukasi dan mensosialisasikan agar hewan ternak yang sakit itu tidak di-brandu, tidak dikonsumsi,” kata Heri.
Heri menegaskan, selain sosialisasi, harus ada upaya untuk meringankan beban warga yang kehilangan ternak karena penyakit. Upaya meringankan beban ini dinilai penting untuk menghentikan tradisi brandu.
“Kita akan lakukan upaya-upaya ke depan yang bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang hewan ternaknya sakit atau mati,” kata Heri.
Baca Juga: Wapres Perintahkan Isolasi Semua yang Terpapar Antraks, Jangan Sampai Menyebar ke Daerah Lain
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.