JAKARTA, KOMPAS.TV- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, korupsi yang terjadi saat ini jauh lebih buruk jika dibandingkan masa Orde Baru.
Dalam cuitannya, dia menyebutkan, "Korupsi sekarang semakin meluas. Lebih meluas dari zaman Orde Baru. Saya katakan, saya tidak akan meralat pernyataan itu. Kenyatannya saja, sekarang, hari ini korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru. Saya tidak katakan semakin besar atau apa jumlahnya. Tapi meluas," ujar Mahfud MD dalam dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta yang ditayangkan YouTube Universitas Gadjah Mada, Sabtu 5 Juni 2021 silam.
Pernyataan Mahfud tersebut hingga sekarang tidak ada yang membantah. Bahkan dua tahun kemudian, ia menegaskan kembali bahwa, korupsi makin meluas ke berbagai institusi. "Kesimpulannya itu memang terjadi conflict of interest di dalam jabatan-jabatan politik. Di DPR terjadi transaksi-transaksi di balik meja, Mahkamah Agung, Pengadilan bisa membeli perkara. Di pemerintah, di birokrasi sama, itu temuannya," kata Mahfud MD lagi saat menghadiri acara di kawasan Sarinah, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu 11 Juni 2023.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah menyebutkan sebanyak 86 persen koruptor yang ditangkap KPK berasal dari alumni perguruan tinggi, bahkan di atas S-1.
Baca Juga: Irwan Hermawan Didakwa Perkaya Diri Sendiri dari Korupsi BTS 4G hingga Negara Rugi Rp8 Triliun
"Ada data yang menunjukkan 86 persen koruptor yang ditangkap KPK adalah lulusan perguruan tinggi, tentu itu ironis sekali," kata Nurul Ghufron dalam kuliah umum yang digelar luring terbatas dan daring di Universitas Jember, Jawa Timur, Jumat 22 Oktober 2021 silam.
Tidak heran, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa pendidikan tinggi belum menjamin integritas dan karakter antikorupsi para peserta didiknya.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana mengutarakan hal itu dalam acara Peluncuran dan Webinar mengenai Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang digelar KPK di Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Menurut Wawan, SPI Pendidikan dilakukan KPK untuk mengetahui efektivitas pendidikan antikorupsi. Survei tersebut dilakukan dengan memetakan integritas, yakni karakter peserta didik, ekosistem pendidikan (pendidik dan pimpinan satuan pendidikan), serta risiko korupsi dalam tata kelola pendidikan.
Dari hasil SPI Pendidikan yang dilakukan pertama kali di 34 provinsi pada tahun 2022, indeks integritas pendidikan nasional sebesar 70,40. Nilai ini menunjukkan indeks integritas pendidikan masih berada di level 2 dari skala tertinggi level 4.
”Artinya, dari sisi peserta didik, perilaku integritas belum jadi pembiasaan. Dari ekosistem juga belum memberi dukungan memadai untuk menginternalisasikan nilai-nilai integritas dalam pembelajaran oleh pendidik, pimpinan satuan pendidikan, dan orangtua karena belum ada sinergi,” tuturnya dikutip dari Kompas.Id.
Indeks integritas pendidikan dasar menengah (sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan sederajat) lebih tinggi, yakni 74,49, dibandingkan perguruan tinggi dengan indeks 67,69.
Rendahnya indeks ini disebabkan banyak perilaku akademik tak jujur, seperti mencontek dan plagiasi, yang terus terjadi. Para pendidik seperti guru atau dosen juga belum sepenuhnya memberi keteladanan. Mereka biasa terlambat masuk kelas, mengakhiri kelas sebelum waktunya, ataupun tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Perilaku koruptif antara lain pungutan liar (pungli) saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru hingga merekayasa dokumen agar diterima sekolah atau kampus yang diinginkan.
Ada juga dosen yang mewajibkan mahasiswa membeli diktat atau buku atau produknya sendiri. Ada juga guru yang mewajibkan siswa ikut les tambahan dengan bayaran. Ada juga pelaporan keuangan yang tidak transparan, serta kampus atau sekolah tidak merinci komponen biaya sekolah atau perkuliahan.
Baca Juga: Sidang Kasus Korupsi BTS Kominfo Hari Ini, Johnny Plate Bakal Sampaikan Bantahan atas Dakwaan Jaksa
Kasus yang baru-baru ini terjadi, bahkan terbilang "ikonik" adalah mantan Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani divonis 10 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB) di Fakultas Kedokteran (FK) Unila.
Vonis itu dijatuhkan majelis hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Tanjung Karang, Lampung, Kamis (25/5/2023) malam. Ketua Majelis Hakim Lingga Setiawan menyebut Karomani terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dakwaan kesatu.
Pada amar putusan juga disebutkan Karomani tidak hanya menerima suap pada jalur mandiri (SMMPTN), tapi juga melalui jalur reguler (SBMPTN) untuk calon mahasiswa Unila. Karomani juga dinyatakan melanggar Pasal 12 B ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dakwaan kedua.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.