JAKARTA, KOMPAS.TV- Pemilihan Umum tahun 1999 adalah pemilu pertama setelah Orde Baru jatuh. Era kebebasan tiba, diikuti dengan kemunculan sejumlah partai politik dengan beragam visi dan warna.
Sebanyak 48 parpol ditetapkan sebagai peserta pemilu dari 148 parpol yang mendaftar. Di dalamnya termasuk tiga kekuatan yang sudah lebih dulu ada seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar (kemudian menjadi Partai Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (kemudian menjadi PDI-P).
Nah, untuk merebut hati pemilih, banyak parpol yang sadar pentingnya media. Kala itu media sosial belum ada, internet masih jadi barang mewah, maka membuat koran dan tabloid jadi pilihan.
Maka bertebaranlah koran dan tabloid milik parpol. Tercatat PDI-P (tabloid Demokrat), Partai Bulan Bintang (Abadi), PAN (Amanat Nasional), Partai Ampera (Aspirasi Masa), PKB (Duta Masyarakat), PNI Supeni (Dwiwarna), Partai Buruh Nasional (Media PBN), Partai Reformasi Tionghoa (Nagapos), Golongan Karya (Suara Karya), PDR (Daulat Rakyat) dan PPP (Ka'bah).
Baca Juga: Pemilu 1999: Euforia Politik di Tengah Ketergesaan
Dikutip dari buku Pemilihan Umum 1999: Demokrasi Atau Rebutan Kursi? (LSPP, 1999), Tabloid yang pertama menyapa pembaca adalah Amanat Nasional milik PAN pada 16 Oktober 1998 dengan sampul depan wajah sang ketua umum saat itu, Amien Rais.
Dua hari kemudian muncul Duta Masyarakat, disusul oleh Mingguan Demokrat. Meski sekjen PDI-P kala itu Haryanto Taslam menepis bahwa itu media partai, namun awam mafhum dilihat dari isi pemberitaan.
Misalnya, edisi perdana memajang foto Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dengan Alex Litaay sedang diarak pendukung dengan judul besar, "Sabar, Mega Difitnah".
Sementara Nagapos hadir pada 20 November 1999 dengan judul utama "Etnis Tionghoa Bisa Jadi Presiden."
Mereka bukan hanya mengagungkan sosok dan visi misi partai, tapi juga menyerang partai lain. Misalnya, Abadi edisi 7-13 Januari 1999 dengan judul besar "Menyeret Theo Sjafei ke Pengadilan" lengkap dengan foto salah satu ketua PDI-P itu.
Sementara tabloid Amanat Nasional menurunkan berita utama "PKB-Mega Retak" menuliskan keretakan hubungan PKB dan Ketua Umum PDI-P itu.
Lain lagi dengan Nagapos, koran milik partai tionghoa ini menyentil PAN dan PKB yang berusaha mendekati etnis tionghoa dengan judul " PAN dan PKB Rebutan Naga".
Namun usia media milik parpol ini tidak bertahan lama. Usai pemilu mereka pun bubar. Bukan saja karena biaya produksi yang sangat tinggi (cetak dan membayar wartawan) juga karena rebutan iklan yang tidak menutupi.
"Jumlah kue iklan menciut seiring dengan merosotnya perekonomian, sejumlah jumlah media massa juga tumbuh pesat," tulis buku itu.
Baca Juga: Pemilu 1999 Ada Partai Masyumi Baru, Yusril: Hasilnya Tak Menggembirakan
Ekonomi yang masih babak belur dihantam krisis 1998 ditambah biaya iklan untuk media cetak mengalami penurunan hingga 40 persen hingga 50 persen jadi penyebab rontoknya media parpol.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.