JAKARTA, KOMPAS.TV - Tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana atau RUU Perampasan Aset.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola menjelaskan setiap tahun Indonesia hampir kehilangan Rp40 ribu triliun akibat praktik korupsi dan tidak sampai 10 persen dari uang negara yang dikorpsi kembali.
Hal ini membuat Indonesia rugi dua kali. Sudah di korupsi, uangnya juga tidak balik ke kas negara.
Menurut Alvin kerugian dua kali ini lantaran instrumen hukum yang ada tidak cukup mumpuni untuk merespons kebuntuan hukum dalam pengembalian aset hasil tindak pidana.
Baca Juga: DPR Takut Bahas RUU Perampasan Aset? | NI LUH
Di sisi lain pendekatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengatur soal pelacakan aset. Persoalannya UU tersebut hanya bisa menjangkau penghentian transaksi sementara dalam proses pengembalian aset.
"Saya kira kita hampir tidak punya alasan untuk menunda pembahasan dari RUU Perampasan Aset ini," ujarnya saat wawancara eksklusif di program Ni Luh KOMPAS TV, Senin (15/5/2023).
Lebih lanjut Alvin berharap dalam pembahasan draf RUU Perampasan Aset di DPR dapat memuat lima hal penting.
Pertama soal memperluas jalan hukum, artinya tidak hanya sebatas harus ada pembuktian di pidana asal.
Sehingga tidak jika tidak ada pidana asal, penelusuran aset yang tidak sesuai profil dapat dilakukan.
Baca Juga: PDIP: RUU Perampasan Aset Jangan Dipakai untuk Menyerang Lawan Politik
"Harapannya RUU ini harus memuat itu, soal pelacakan non-pidana. Sementara ini di draf RUU tahun 2015 ada," ujar Alvin.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.