YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Psikolog sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro mengungkapkan alasan sebagian masyarakat Indonesia masih percaya dengan fenomena dukun pengganda uang, Selasa (11/4/2023).
Menurut Koentjoro, cara berpikir kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih bersifat materialistis membuat banyak orang memercayai kemampuan dukun dalam menggandakan uang, sekalipun di tengah era modern saat ini.
“Kalau dari perspektif korban, masyarakat kita itu konsep berpikirnya sangat materialistis,” terangnya, Selasa (11/4), dilansir dari laman UGM.
Apalagi, kata dia, di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, orang bisa dengan mudah melihat unggahan orang lain di dunia maya maupun media sosial yang memamerkan kemewahan hidup atau flexing.
Perilaku pamer harta tersebut menjadi salah satu faktor yang juga memicu orang memiliki keinginan untuk tampil seperti mereka yang memperlihatkan simbol-simbol kepemilikan material.
Baca Juga: TKP Pembunuhan oleh Mbah Slamet Dukun Pengganda Uang Ramai Dikunjungi, Warga: Seperti Tempat Wisata
Untuk mewujudkannya, orang akan berusaha dengan berbagai cara, termasuk dengan jalan pintas menemui dukun.
Koentjoro menjelaskan, masyarakat Tanah Air saat ini sudah mengalami perubahan. Dulu, ujarnya, masyarakat menjalin relasi di komunitas karena didorong motif berafiliasi, berkumpul, serta bersahabat.
Akan tetapi, lanjut dia, tujuan menjalin relasi masyarakat saat ini mulai berubah pada motif kekuasaan maupun simbol-simbol status sosial.
Sebagian di antara mereka sengaja memamerkan simbol status sosial agar bisa diakui dan dihormati.
“Bagi orang berpengaruh, berbakat, maupun terdidik yang jadi korban, itu karena serakah, ingin mendapatkan kekayaan lebih," ujarnya.
"Mereka ingin diakui dan dihormati lewat memamerkan simbol-simbol status sosial,” imbuhnya.
Baca Juga: 4 Jenazah Lagi Korban Pembunuhan Mbah Slamet Dukun Pengganda Uang Teridentifikasi, Ini Identitasnya
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini menyampaikan, ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat mudah percaya dukun.
Pertama, korban terkena hipnotis gendam atau magic. Kedua, ada orang tertentu yang mampu memengaruhi, meyakinkan, bahkan memikat para korban untuk memercayai iming-iming yang disampaikan.
Koentjoro menambahkan, dari sisi pelaku kriminalitas, pelaku melakukan penipuan berkedok dukun untuk mendapatkan uang dengan jalan pintas.
“Biar tidak ditagih terus penggandaan uang yang dijanjikan, korban diajak melakukan ritual yang sebenarnya untuk menghabisi nyawa korban dan mereka percaya kalau itu bagian dari ritual,” terangnya.
Agar masyarakat tidak terjebak penipuan, termasuk yang berkedok dukun, Koentjoro mengatakan perlunya pendidikan keluarga.
Orang tua perlu mengajarkan anak-anaknya mengenai ketentraman dan kesejahteraan hidup yang bukan hanya dari simbol status sosial, namun juga memaknai kebahagiaan dengan selalu bersyukur kepada Tuhan.
“Sebenarnya agak susah mencegahnya, selama motif ingin diakui masih ada. Perlu belajar sufisme untuk melawan materialisme, sehingga di sini pendidikan keluarga menjadi penting dalam mengajarkan kehidupan untuk senantiasa bersyukur pada Tuhan,” pungkasnya.
Baca Juga: Kasus Pembunuhan Berkedok Penggandaan Uang Masuk Tahap Penyidikan, Mbah Slamet Diperiksa Kejiwaannya
Sebagaimana ramai diberitakan akhir-akhir ini, fenomena dukun pengganda uang menjadi pembicaraan hangat, usai aksi jahat Slamet Tohari alias Mbah Slamet (45) yang berkedok dukun penggandaan uang di Desa Balun, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah terungkap.
Sejauh ini, sudah ada total 12 orang yang menjadi korban pembunuhan Slamet.
Polisi pun mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya dengan berbagai bentuk modus orang yang bisa menggandakan uang.
Sumber : Kompas TV/ugm.ac.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.