Arya menjelaskan beberapa alasan dan analisisnya terkait hal tersebut.
"Pertama, potensi duet terbuka jika masing-masing sepakat siapa capres atau cawapres. Karena bisa jadi (penentuan capres) itu sumber deadlock (jalan buntu)," kata Arya dalam Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (15/3/2023).
PDIP disebutnya mematok capres, sedangkan bagi Prabowo sendiri, Pemilu 2024 adalah pertaruhan terakhirnya.
"Bagi Prabowo sendiri ini pertaruhan terakhir di nasional. PDIP juga masang harga mati capres," jelasnya.
Alasan selanjutnya, lanjut Arya, keduanya bisa maju tanpa PDIP.
Dalam politik, kata dia, hal itu mungkin terwujud, meskipun nantinya bakal rumit.
"Kedua, bisa jadi koalisi nanti bisa tidak dengan PDI Perjuangan. Bisa jadi Gerindra dengan koalisi lain, untuk tetap calon diusung Gerindra (pasangan Prabowo-Ganjar) tapi itu rumit," tambahnya.
Ia lantas memberi contoh, jika nanti Gerindra berkoalisi dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), mereka bisa mengusung Ganjar.
Lantas ketiga, menurutnya, ketika dipasangkan, kekuatannya akan besar dan potensi menang dalam satu putaran semakin terbuka.
Baca Juga: Ngotot Prabowo Capres, Politikus Gerindra Ungkap Alasannya
"Ketiga, dua capres ini, Ganjar dan Prabowo punya internal barrier yang sama dalam enam bulan terakhir. Tidak terjadi semacam pertumbuhan suara signifikan," jelasnya.
"Kalau pemilu diikuti tiga pasang, misalnya, satu ada Anies Baswedan dan pasangannya, maka bisa jadi pemilu dua putaran," jelasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.