JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpeluang menjadi "kingmaker" dalam Pemilu 2024.
Pasalnya, tingkat kepercayaan publik (approval rating) terhadap Jokowi masih tinggi selama dua tahun terakhir.
Burhan menyebutkan, Jokowi sengaja menjaga tingkat kepercayaan publik agar dapat menjadi "kingmaker".
“Karena ada batasan konstitusional untuk maju di kali ketiga, maka bacaan para analis terhadap langkah presiden Jokowi periode kedua yang selalu kencang mempertahankan popularitasnya, tiada lain untuk menjadi kingmaker yang menentukan siapa capres di 2024,” kata Burhan dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Minggu (12/3/2023).
Baca Juga: Pengamat Politik Sebut Pertemuan Jokowi, Prabowo, dan Ganjar Bentuk Jokowi Unjuk Kekuatan
Burhan berpendapat, sejak dilantik sebagai Presiden RI pada periode kedua, Jokowi ingin memainkan peran yang krusial untuk menentukan peta pencapresan.
Namun, masih ada tiga hal yang harus dipenuhi agar Jokowi benar-benar bisa menjadi "kingmaker" pada kontestasi Pemilu 2024.
Pertama, kata Burhan, mempertahankan tingkat kepercayaan publik hingga akhir masa jabatan. Selama dua tahun terakhir, tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi masih cukup tinggi.
“Kalau approval rating-nya drop, jangankan orang terdekatnya, orang sekitarnya akan lari karena takut terkena getahnya, jika approval rating-nya drop,” papar Burhan.
Kedua, terkait konstelasi capres atau ada tidaknya capres yang dominan. Menilik survei politik yang dilakukan sebelumnya, menurut Burhan, tidak ditemukan capres yang dominan.
Dia bilang, ketiadaan capres yang dominan, membuat peluang Jokowi menjadi "kingmaker" semakin besar.
Baca Juga: LSI Denny JA: 4 King Maker Hadapi Dilema pada Pilpres 2024, dari Megawati hingga Prabowo
Ketiga, kata Burhan, tergantung pada putusan Mahkamah Agung terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang berada di angka 20-25 persen.
“Kalau misalnya, skema aturan kaitannya dengan pencanangan presidential threshold ini masih ditetapkan yang sangat tinggi, maka presiden Jokowi sebagai presiden yang mewadahi tujuh partai koalisi pemerintah, itu menjadi menentukan. Tapi kalau diturunkan, maka dua partai oposisi sudah cukup,” jelas Burhan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.