JAKARTA, KOMPAS.TV – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, menyebut, jika hakim menabrak konstitusi, itu adalah pelanggaran yang cukup akut.
Penjelasan Bayu tersebut disampaikan dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (8/3/2023), membahas tentang putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Komisi Pemilihan Umum untuk menunda tahapan pemilu.
“Jelas ini kita akan melakukan pelanggaran konstitusi yang cukup akut,” tuturnya.
Jika hakim melanggar konstitusi, tentu penegakan kode etik dan perilaku hakim harus dilaksanakan.
“Tentu Komisial Yudisial, internal Mahkamah Agung, badan pengawas, harus melakukan kenapa hakim kemudian bertindak tidak profesional,” tuturnya.
Baca Juga: Jokowi Dukung KPU Ajukan Banding atas Putusan PN Jakarta Pusat Soal Penundaan Pemilu 2024
“Ini kan isinya tidak profesional.”
Jika hakim yang bersangkutan tidak bisa menjelaskan dan membuktikan bahwa putusan itu diambil secara profesional, maka yang bersangkutan bisa saja dikenai sanksi.
“Apa latar belakangnya? Ketika tidak bisa menjelaskan, tidak bisa membuktikan bahwa ini secara profesional ditegakkan, maka tentu sanksi harus menanti hal semacam ini. Ini demi tegaknya kode etik dan pedoman perilaku hakim.”
Dalam dialog tersebut, Bayu juga menyebut bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan hukum, namun isinya adalah keputusan politik.
“Ini bentuknya memang keputusan hukum tapi isinya adalah keputusan politik, karena kalau keputusan hukum enggak mungkin ada putusan semacam ini,” jelasnya.
Ia mengatakan, pelaksanaan pemilu lima tahun sekali merupakan perintah dari konstitusi.
Sementara, hakim di semua tingkatan peradilan, baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung, dalam sumpahnya adalah menegakkan konstitusi dan perundang-undangan.
Baca Juga: Menkopolhukam Mahfud MD Pastikan Pemerintah Jamin Pelaksanaan Tahapan Pemilu 2024
“Paling tinggi adalah konstitusi, sehingga harusnya ketika akan memutuskan sebuah perkara, dilihat dulu, ‘Ini secara konstitusi saya tabrak atau tidak?’,” lanjut Bayu.
Ketika ditabrak, lanjut Bayu, seharusnya hakim menyadari bahwa tidak mungkin ia menabrak konstitusi, karena konstitusi itu adalah pegangan dari semua hakim.
“Jadi ini jelas tidak bisa disebut nalar hukum, karena kalau nalar hukum pasti tidak berhenti di situ.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.