JAKARTA, KOMPAS.TV - Sidang kode etik profesi Polri memutuskan Richard Eliezer tetap menjadi anggota Polri. Namun, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J itu mendapat sanksi demosi satu tahun.
Guru Besar Universitas Bhayangkara (Ubhara) Hermawan Sulistyo menilai putusan tersebut sudah tepat dalam memberi dampak positif bagi semua pihak, sekaligus memulihkan kepercayaan publik kepada Polri.
Meski keluarga dari korban Brigadir J mempertanyakan keputusan tersebut, Hermawan menyatakan, dalam setiap keputusan pastinya ada pro dan kontra.
"Kalau soal puas tidak puas, tidak pernah satu keputusan itu memuaskan semuanya," ujar Hermawan di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Kamis (23/2/2023).
Baca Juga: Hormati Putusan Sidang Etik Richard Eliezer, Kompolnas: Yang Bersangkutan Tentunya akan Diuji
Hermawan menambahkan, dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J, rekonstruksi sistem yang dilakukan bukan hanya menyasar ke Polri, tetapi juga kepada pelaku.
Menurutnya, kasus ini menjadi catatan dan pembenahan dalam sistem keadilan restoratif yang kini dijalankan aparat hukum, baik Polri maupun Kejaksaan Agung.
"Sekarang restorative justice yang dianut memungkinkan terpidana untuk berkelakuan baik, seperti putusan mati yang diberi kesempatan 10 tahun," ujar Hermawan.
Hermawan juga meyakini, kasus pembunuhan berencana Brigadir J ini akan membuat Richard lebih teliti dalam menjalankan perintah atasan.
Baca Juga: Ayah Brigadir J Kecewa Richard Eliezer Tak Dipecat dari Polri: Dia Sudah Menembak Anak Saya
Menurut Hermawan, Richard memiliki beban moral yang tinggi terhadap kepercayaan publik karena sudah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
"Kalau suatu saat dia melakukan tindak kejahatan, hukumannya pasti dua kali lipat lebih berat dari yang diterima sekarang," ujar Hermawan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.