JAKARTA, KOMPAS.TV - Penasihat hukum terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Ronny Talapessy menilai replik penuntut umum menunjukkan kekeliruan dalam memahami prinsip hukum acara pidana.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 A ayat (5) UUD 1945, hukum acara haruslah diatur dalam peraturan setingkat undang-undang, karena sifatnya terbatas (limitatif) dan memaksa (imperatif).
Demikian Ronny Talapessy merespons replik penuntut umum soal tinggi rendahnya strafmaat atau lamanya ancaman pidana tuntutan terhadap terdakwa Richarde Eliezer yang disebut telah ditentukan berdasarkan parameter yang sudah jelas dan diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP).
“SOP internal terkait tinggi rendahnya strafmaat tuntutan yang ditentukan oleh penuntut umum hanyalah berlaku secara internal,” ucap Ronny Talapessy dalam duplik yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (2/2/2023).
Sepatutnya, kata Ronny, terkait tinggi rendahnya strafmaat, tuntutan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (UU).
Baca Juga: Pengacara: Penuntut Umum Keji, Tuding Perkosaan Putri Candrawathi Khayalan dan Kental Siasat Jahat
“Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan mengenai keringanan tuntutan dan hukuman sebagai penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud Pasal 10A ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lex superior,” ujar Ronny merujuk asas hukum yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Apalagi faktanya, terdakwa Richard Eliezer telah memenuhi sejumlah syarat sebagai saksi pelaku yang mendapatkan perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Yaitu, tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014,” jelas Ronny.
“Sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh saksi pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana, bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya,” tutur Ronny.
Baca Juga: Hakim Vonis Putri Candrawathi 13 Februari 2023, Sama dengan Jadwal Ferdy Sambo
Lalu, adanya ancaman nyata atau kekhawatiran akan terjadinya ancaman, tekanan fisik atau psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Tidak hanya itu, lanjut Ronny, sebelumnya LPSK juga telah mengirimkan surat rekomendasi kepada jaksa untuk memberikan keringanan penjatuhan pidana bagi terdakwa Richard Eliezer.
“Yang pada intinya LPSK merekomendasikan agar terdakwa atas perannya sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) diberikan tuntutan atau hukuman yang paling ringan di antara pelaku (para terdakwa) lainnya,” ujar Ronny.
Selain itu, penuntut umum dalam surat tuntutan tertanggal 18 Januari 2023 juga telah mengakui bahwa terdakwa Richard Eliezer merupakan justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap tindak pidana yang didakwakan.
Bahkan, penuntut umum begitu memuji kejujuran dan konsistensi terdakwa Richard Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
“Dimana kejujuran dan konsistensi itu juga telah diuji dan dijustifikasi oleh LPSK sebagai lembaga negara yang resmi berdasarkan undang-undang dengan ditetapkannya terdakwa sebagai justice collaborator,” kata Ronny.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.