JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan penyebab buronan kasus dugaan korupsi KTP elektronik atau E-KTP, Paulus Tannos, berhasil lolos karena red notice terlambat terbit.
"Paulus Tannos itu nasibnya sudah bisa diketahui, tapi memang ada kendala, yang bersangkutan red notice-nya penerbitannya terlambat," kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Baca Juga: Soal Formula E, Direktur Penyelidikan dan Deputi Penindakan KPK Dilaporkan ke Dewas
Karyoto mengatakan, seandainya red notice tersebut sudah terbit, Paulus Tannos bisa langsung ditangkap oleh KPK yang saat itu keberadaannya terlacak ada di Thailand.
"Kalau pada saat itu sudah yang bersangkutan betul-betul red notice sudah ada, sudah bisa tertangkap di Thailand," ujarnya.
Karyoto menjelaskan pengajuan red notice Interpol terhadap Paulus Tannos sebetulnya telah dilakukan sejak lima tahun lalu. Namun, pengajuan itu ternyata belum terdaftar ke dalam sistem Interpol.
"Pengajuan DPO itu red notice sudah lebih dari lima tahun, ternyata setelah dicek di Interpol belum terbit. Kita enggak tahu apa sebabnya, apakah karena ada kesalahan upload dan lain-lain, kita enggak tahu," ujarnya.
Baca Juga: KPK Tangkap Eks Panglima GAM Izil Azhar, Buron Kasus Korupsi di Aceh
Namun demikian, dia memastikan, pihak KPK sudah memperbaiki kekurangan tersebut sehingga ke depannya proses penerbitan red notice bisa lebih cepat.
"Kemarin sudah kita perbaiki semua. Mudah-mudahan yang sudah ditetapkan sebagai DPO akan secara otomatis pada waktunya akan terbit red notice secara internasional dari Interpol Lyon," ujarnya.
Nama Paulus Tannos diketahui telah masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan E-KTP.
Yang bersangkutan pada 13 Agustus 2019 telah diumumkan sebagai tersangka dalam pengembangan kasus korupsi E-KTP.
Baca Juga: Heboh Video Bernarasi WNA China Diberi E-KTP untuk Pemilu 2024, Ditjen Dukcapil Buka Suara
Paulus Tannos juga diduga melakukan pertemuan untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan sepakati fee sebesar 5 persen, sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait dengan proyek E-KTP tersebut.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.